JurnalPatroliNews – Jakarta. Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang pesat kini menimbulkan kekhawatiran baru. Bukan hanya dimanfaatkan untuk produktivitas, AI juga mulai dijadikan senjata utama oleh pelaku kejahatan siber. Modus penipuan berbasis AI kian marak, bahkan memakan banyak korban dari individu hingga korporasi global.
Laporan terbaru Forbes menyebutkan, tahun 2025 diprediksi sebagai awal dari gelombang besar penipuan digital yang didorong oleh kemampuan AI, mulai dari deepfake, kloning suara, hingga serangan email bisnis yang sulit dibedakan dari komunikasi asli.
Berikut adalah empat modus penipuan berbasis AI yang tengah menjadi sorotan dan perlu diwaspadai:
1. Deepfake dalam Serangan Email Bisnis (BEC)
Modus Business Email Compromise (BEC) kini berevolusi dengan bantuan AI. Di Hong Kong, sindikat siber menyamar menjadi bos perusahaan lewat panggilan Zoom palsu yang menggunakan deepfake video dan audio. Akibatnya, seorang pegawai ditipu untuk mentransfer dana senilai hampir Rp 480 miliar.
Lebih dari 40% email BEC kini ditulis oleh AI, dan 53% profesional akuntansi di Amerika Serikat mengaku pernah menjadi target serangan serupa. Dengan kualitas manipulasi yang sangat meyakinkan, banyak pegawai kesulitan membedakan mana komunikasi asli dan palsu.
2. Chatbot AI dalam Penipuan Asmara
Penipuan asmara kini memasuki babak baru. Para pelaku memanfaatkan chatbot AI yang dirancang untuk berinteraksi secara natural, sehingga korban kesulitan menyadari bahwa mereka tidak sedang berbicara dengan manusia.
Modus ini marak di media sosial, dan bahkan pernah dibongkar oleh seorang pelaku kejahatan asal Nigeria dalam video yang beredar. AI digunakan untuk merayu, membangun hubungan emosional, lalu menguras keuangan korban secara perlahan.
3. Skema “Pig Butchering” Berbasis AI
Modus penipuan investasi berkedok asmara atau bisnis, yang dikenal sebagai pig butchering, kini dilakukan secara massal. Pelaku menggunakan AI untuk mengirim pesan-pesan otomatis seperti “Temanku merekomendasikan kamu. Apa kabar?” guna menjaring calon korban.
Tak berhenti di situ, deepfake dan kloning suara turut dimanfaatkan dalam panggilan video guna memperkuat narasi penipuan. Dalam banyak kasus, korban baru menyadari jebakan ini setelah kehilangan dana besar.
4. Pemerasan Deepfake Menyasar Eksekutif dan Pejabat
Penjahat siber kini juga menggunakan deepfake sebagai alat pemerasan, terutama terhadap pejabat dan eksekutif. Di Singapura, kelompok kriminal mengirimkan email berisi video palsu yang mencatut wajah pejabat publik dan menuntut pembayaran dalam bentuk mata uang kripto.
Teknologi deepfake ini dikembangkan dari rekaman dan foto yang diambil dari media sosial atau platform publik seperti LinkedIn dan YouTube. Dengan perangkat lunak deepfake yang semakin mudah diakses, ancaman ini diprediksi akan menyasar banyak tokoh penting di seluruh dunia.
Imbauan Kewaspadaan untuk Publik
Para pakar keamanan digital dan lembaga siber kini menyerukan peningkatan kewaspadaan, baik bagi masyarakat umum maupun kalangan bisnis. Pelatihan keamanan siber, verifikasi berlapis, serta edukasi digital perlu digalakkan untuk meminimalkan risiko menjadi korban penipuan berbasis AI.
Perusahaan dan institusi keuangan juga diimbau memperkuat sistem verifikasi internal untuk mencegah kebocoran data serta transfer dana yang tidak sah.
Komentar