Bisakah Para Pekerja Muda Vokal di Kantor Tanpa Membuat Bos Marah?

JurnalPatroliNews – Pekerja muda ingin suara mereka didengar di kantor. Sementara, sebagian pekerja senior berpendapat para junior harus bekerja keras untuk waktu yang lama terlebih dahulu, untuk mencapai privilese tersebut.

Angkatan kerja semakin didominasi oleh kaum milenial dan Gen Z. Seiring dengan perubahan ini, ada satu perbedaan yang kian tampak jelas membedakan antara generasi muda ini dengan generasi sebelumnya.

Para pekerja muda lebih ingin didengar di tempat kerja mereka, baik itu ketika memberi pendapat maupun mengajukan inovasi mempertanyakan soal gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya.

Bahkan ketika membahas topik-topik penting, seperti nilai-nilai yang dianut perusahaan tempat mereka kerja dan soal keragaman.

“Orang-orang yang baru mulai bekerja ini tampaknya jauh lebih nyaman membicarakan fleksibilitas pekerjaan, keseimbangan antara kehidupan sehari-hari dan pekerjaan, keadilan, dan tentang harapan terhadap kehidupan kerja mereka, dibandingkan dengan generasi yang lebih tua,” kata Martin Kilduff, profesor yang ahli di bidang perilaku organisasi di University College London.

Apa yang disampaikan Profesor Kilduff itu bahkan terjadi pada karyawan barunya yang ia angkat sebagai asisten peneliti.

“Mereka jauh lebih vokal – dengan cara yang positif. Mereka memberi tahu Anda tentang apa yang mereka pikirkan.”

Namun, sementara para pekerja yang lebih muda ingin didengar, mereka menghadapi sebuah paradoks.

Terlepas dari keinginan mereka untuk bersuara – dan seringkali didorong oleh para atasan dan rekan kerja untuk melakukan hal tersebut – mereka sulit untuk mengungkapkan keprihatinan maupun mengadvokasi diri mereka sendiri.

Dalam banyak kasus, mereka menghadapi manajer yang lebih tua, yang masih mengharapkan pekerja yang lebih muda untuk “berdedikasi dahulu” sebelum lantang menyampaikan pendapatnya.

Mereka juga diharapkan tidak melakukan sesuatu yang mengganggu atau menyinggung pekerja lainnya demi mendapatkan pangkat yang lebih tinggi.

Bagaimana seharusnya para pekerja muda menghadapi perbedaan ini – dan apakah mereka mampu?

Meskipun mereka didukung oleh jumlah yang semakin banyak, norma-norma lama masih berlaku selama Gen X dan Baby Boomers masih memimpin perusahaan.

Bagi kaum Gen Z dan milenial, mengadvokasi diri mereka sendiri bisa menjadi hal yang sulit untuk dijalani.

‘Kewajiban moral untuk berpendapat’

Dalam beberapa tahun terakhir, ruang kerja telah berubah banyak, di antaranya termasuk keingingan para pekerja untuk didengar.

Ini bukanlah keinginan yang sama sekali baru. Dalam sebuah penelitian pada 2011 lalu terhadap pekerja milenial – yang pada saat itu merupakan generasi dengan pangkat terendah di tempat kerja – menunjukkan 90% percaya bahwa pimpinan harus mendengarkan ide-ide mereka.

Ini menjadi semakin jelas ketika semakin banyak kaum Gen Z mulai masuk ke dunia kerja.

Para ahli mengatakan Gen Z mengikuti jejak para milenial yang ingin selalu didengar. Dalam beberapa kasus, mereka berharap bisa membicarakan lebih banyak isu, termasuk fleksibilitas, gaji, dan nilai-nilai perusahaan.

“Gen Z merasa mengemukakan pendapat adalah sebuah kewajiban moral, dan itu dapat membuat beberapa orang lengah jika mereka tidak terbiasa menghadapi politik kantor,” kata Haydn Shaw, penulis Sticking Points: How to Get 4 Generations Working Together in 12 Places They Come Apart.

Ada banyak alasan mengapa pekerja muda semakin ingin untuk bersuara.

Pertama, mereka membawa nilai-nilai mereka ke tempat kerja, dengan menekankan hal-hal seperti etika perusahaan dan pendirian politik, serta kesetaraan dan inklusi.

Penelitian juga menunjukkan Gen Z, secara khusus, ingin bekerja untuk perusahaan yang tenaga kerjanya terlihat beragam.

Kondisi ekonomi saat ini juga dapat menjelaskan mengapa Gen Z dan milenial sangat ingin mengadvokasi diri mereka sendiri dengan cara yang mungkin tidak dimiliki oleh generasi yang lebih tua, kata Kyle Brykman, asisten profesor manajemen di University of Windsor, di Ontario, Kanada.

Ketika para pekerja berada di posisi yang lebih menguntungkan di pasar tenaga kerja dalam beberapa tahun terakhir, ada pergeseran prioritas sehingga pekerja dari segala usia mempertimbangkan terpenuhinya hak, seperti fleksibilitas. Padahal sebelumnya itu tidak dilakukan.

Di saat yang sama, para pekerja ini sadar bahwa mereka memiliki prospek pekerjaan lain, jika atasannya tidak mendengarnya.

Sederhananya, lebih mudah untuk memiliki kepercayaan diri untuk melakukan advokasi, ketika pekerja tahu bahwa menggantikan mereka dengan orang lain akan lebih sulit dan mahal.

“Ini pasar penjual, bukan pasar pembeli,” kata Shaw.

Bagi sebagian pekerja yang menginginkan berada di posisi yang berpengaruh, mereka beruntung. Sebagian besar perusahaan mengembangkan lingkungan di mana generasi muda dilibatkan dalam diskusi, dan secara aktif didorong untuk berpendapat.

Dalam beberapa kasus, saat ini tuntutan kaum milenial mendorong perusahaan-perusahaan mempekerjakan pakar keragaman dan inklusi, serta menawarkan pelatihan mengenai bias yang tidak disadari.

Sejumlah perusahaan juga semakin giat memperkenalkan program yang secara eksplisit mengumpulkan suara, ide, dan umpan balik dari para pekerja muda.

Upaya tersebut bermanfaat bagi perusahaan, mengingat proses rekrutmen mahal, sementara talenta langka, kata Kilduff.

“Adalah kepentingan perusahaan-perusahaan untuk mengetahui apa yang terjadi dengan orang-orang muda yang mereka pekerjakan,” katanya. “Perusahaan ingin mempertahankan mereka.”

Duduk di kursi cadangan

Meskipun sejumlah perusahaan suprotif terhadap para pekerja muda, tidak semua pekerja muda berada dalam lingkungan di mana suara mereka didukung maupun diterima.

Hal itu kemungkinan disebabkan oleh masih banyaknya norma dan perspektif yang mendarah daging di tempat kerja, yang berasal dari generasi sebelumnya, yang masih menduduki kekuasaan.

Dalam banyak kasus, pekerja yang lebih tua berharap melihat generasi yang lebih muda ini menunggu giliran untuk angkat bicara.

Shaw membandingkannya dengan sebuah pertemuan keluarga.

“Generasi sebelumnya diajari untuk duduk di meja cadangan saat makan malam keluarga, sampai Anda diundang ke meja utama,” kata Shaw.

“Gagasan ‘tunggu giliranmu’ untuk berbicara mendominasi sebagian besar kehidupan.”

Selain itu, jika Gen Z dan generasi milenial ingin berbicara tentang nilai-nilai, banyak Generasi X dan Boomers yang masih memandang politik dan kehidupan pribadi sebagai topik yang tidak perlu dibicarakan.

Sebuah survei dari platform yang menggali persepsi sentimen karyawan, Perceptyx, menunjukkan setengah dari pekerja yang berusia lebih dari 45 tahun ingin melarang diskusi politik dari kantor.

Sementara itu, tidak sampai tiga pekerja, dari 10 pekerja yang lebih muda, setuju dengan konsep tersebut.

Beberapa ‘aturan’ tempat kerja di masa lalu telah tertanam dalam kehidupan sehari-hari sebagai norma.

Boomers mengharapkan rasa hormat dari generasi yang lebih muda, dan sebagian besar Gen X mematuhinya, kata Shaw.

“Gen X belajar untuk tutup mulut saja karena itu membuat hidup lebih mudah.”

Hal itu memisahkan dua generasi, Boomers dan Gen X, yang terbiasa dengan gagasan “berdedikasi dahulu”, memimpin dua generasi baru, yakni milenial dan Gen Z, yang ingin angkat bicara.

Hal ini memengaruhi para pekerja muda. Penelitian menunjukkan pekerja baru, misalnya, cenderung tidak berbicara dibandingkan rekan kerja mereka yang lebih lama.

Ketika mereka buka suara, ide mereka lantas dikaitkan dengan orang lain.

Namun, itu bisa menjadi masalah, terutama bagi kelompok yang sudah terpinggirkan.

Penelitian telah mengidentifikasi fenomena serupa untuk orang-orang yang menonjol di kantor, baik karena usia, ras, etnis, jenis kelamin, seksualitas, atau alasan lainnya.

Ini adalah tantangan yang berkembang karena, di AS, pekerja Gen Z akan menjadi kelompok yang paling beragam .

Perbedaan yang membuat tidak nyaman

Namun, tidak semua manajer tidak mau mendengar apa yang dikatakan para pekerja yang lebih muda.

Bagian dari masalah para manajer, kata Shaw, adalah tidak ada orang yang ingin menjadi orang jahat dan menolak permintaan maupun sebuah ide.

“Kami tidak selalu memiliki jawaban yang akan membuat orang senang,” katanya.

Ditambah lagi, beberapa manajer yang lebih tua merasa tidak nyaman menangani masalah yang ingin dibawa oleh pekerja muda ke tempat kerja, karena perbedaan generasi.

Gen X dan Generasi Baby Boomers yang cenderung ‘meninggalkan masalah pribadi di rumah’, dan Gen Z cenderung membawa pandangan dan emosi mereka ke tempat kerja, menyebabkan situasi yang tidak nyaman dan bahkan menantang bagi generasi yang lebih tua.

“Mengekspresikan emosi di tempat kerja merupakan perubahan besar. Dan penyampaian emosi yang lebih besar ini terkadang lebih dari yang kita duga, dan manajer tidak tahu bagaimana menanganinya,” kata Shaw.

Komentar