Gubernur BI: Pasar Global Bergeming di Tengah Melambatnya Ekonomi Dunia!

JurnalPatroliNews – Jakarta – Perry Warjoyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), mengungkapkan bahwa perekonomian dunia saat ini mengalami perlambatan, disertai dengan penurunan tingkat ketidakpastian di pasar keuangan.

BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 sebesar 3,0 persen, yang kemudian akan melambat menjadi 2,8 persen pada tahun 2024.

Menurut Perry, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan India pada tahun 2023 ternyata lebih positif dari perkiraan awal.

“Hal ini didukung oleh konsumsi rumah tangga dan ekspansi pemerintah,” ujar Perry dalam penyampaiannya pada Rapat Dewan Gubernur BI yang berlangsung pada 20-21 Desember 2023 dan disiarkan secara langsung melalui YouTube Bank Indonesia pada Kamis, 21 Desember 2023.

Sementara itu, ekonomi Cina mengalami pelemahan seiring dengan keterbatasan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi. Perry juga mencatat bahwa inflasi di negara maju, termasuk Amerika, cenderung menurun, meskipun masih berada di atas target yang ditetapkan.

Berkaitan dengan suku bunga kebijakan moneter, termasuk Fed Funds Rate (FFR), Perry memproyeksikan bahwa sudah mencapai puncaknya.

“Namun, diperkirakan akan tetap tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama (high for longer),” ungkap Perry.

Sementara yield obligasi pemerintah negara maju, termasuk US Treasury, diperkirakan akan mengalami penurunan, namun tetap tinggi seiring dengan premi risiko jangka panjang terkait pembiayaan fiskal dan utang pemerintah.

“Ketidakpastian pasar keuangan global mulai mereda seiring dengan kejelasan arah kebijakan moneter di negara maju,” tambah Perry.

Terlepas dari itu, aliran modal mulai kembali masuk, menurunkan tekanan terhadap pelemahan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Perry juga mencatat bahwa beberapa risiko potensial, seperti ketegangan geopolitik yang berlanjut dan pelemahan ekonomi di beberapa negara, dapat meningkatkan ketidakpastian perekonomian global ke depan.

“Pertahankan Cina serta suku bunga kebijakan moneter dan yield obligasi yang tinggi di negara maju masih menjadi faktor risiko,” tandasnya.

Komentar