Masalah APBN, Utang Dan Tax Ratio Rendah: PR Presiden Yang Akan Datang

Dr. Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina melihat banyak negara yang mengalami kegagalan dalam mengelola utangnya seperti Yunani, Argentina, Venezuela, Ekuador dan Sri Lanka. Padahal beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela mempunyai sumberdaya minyak bumi yang memadai, tetapi hal tersebut tidak berdampak besar sehingga tetap memiliki utang.

Handi mengambil contoh kasus lain yang tak kalah mengkhawatirkan, “Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta – Bandung semula dianggarkan 7 miliar USD kemudian membengkak signifikan menjadi 11 miliar USD. Jika tidak hati-hati dan segera melunasi utang, maka khawatir kasus yang terjadi pada Pelabuhan Hambantota di Srilanka akan terjadi juga di Indonesia.”

Menurutnya kunci utama pengelolaan utang patut dicontoh dari Jepang, Korea dan Cina adalah penegakan hukum yang kuat, budaya malu untuk melakukan penyimpangan keuangan negara dan pengendalian fiskal yang ketat terhadap utang.

“Selama tujuh tahun terakhir, terhitung sejak 2017 utang Indonesia memiliki kecenderungan naik secara signifikan. Hingga puncaknya, kenaikan tersebut semakin terlihat dengan jelas pada tahun 2020-2023” tambahnya.

Handi mengingatkan bahwa pada periode Presiden SBY, mewariskan utang negara kepada Jokowi sebesar Rp2.608,7 triliun. Namun kurang dari 10  bulan sebelum masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi, posisi utang Indonesia telah mencapai angka Rp8,041 triliun atau naik 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Beban utang yang ditanggung oleh APBN secara total yang mencakup pokok dan bunga sekitar Rp 500 triliun tiap tahun dan hal tersebut sangat membebani APBN. Sehingga wajar saja balance budget negara tidak kunjung positif, karena penarikan utang baru sebagian besar digunakan untuk menutupi pembiayaan-pembiayaan utang yang sedang berjalan.

Komentar