Ketum SMSI: Ada Rencana Jahat untuk Melakukan Pembredelan Media yang Baru Tumbuh Secara Sistematis Lewat Perpres

Ini ulah konglomerasi, ingin menghegemoni bisnis media, dengan cara tidak sehat, tapi minta dilegitimasi presiden

JurnalPatroliNews – Jakarta,- Tokoh Nasional sekaligus Budayawan Indonesia, Soegeng Rahardjo Djarot atau Eros Jarot, meraih Anugerah sebagai tokoh Pejuang Kemerdekaan Pers dari Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), pada Malam Anugerah SMSI 2023 di Hall Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta. Jumat, (11/08/2023).

Dengan mengenakan baju batik, dan masih berkumis seperti dulu, ia dipandu panitia masuk ke ruang transit VIP Hall Dewan Pers.

Di ruang transit sudah duduk sejumlah tamu VIP, antara lain Mayjen TNI (Purn) Djoko Warsito (Dewan Pembina SMSI), Ervik Ari Susanto (penasehat SMSI), Al Muktabar (Pj Gubernur Banten) ditemani Mohammad Nasir (Sekretaris Jenderal SMSI). Kehadiran Eros langsung disambut bagaikan bertemu kawan lama, tampak akrab.

Malam itu Eros hadir di Hall Dewan Pers atas undangan Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) untuk menerima penghargaan sebagai tokoh Pejuang Kemerdekaan Pers. Penghargaan itu diberikan pada Malam Anugerah SMSI 2023.

Selain kepada Eros Djarot, penilaian yang sama pada level ketokohan, SMSI juga memberikan penghargàan kepada almarhum Prof Azyumardi Azra (Ketua Dewan Pers) diwakili putrinya, Emily Sakina Azra-sebagai pelopor Kemerdekaan Pers.

“Eros Djarot dan Prof Azyumardi Azra itu pelopor Kemerdekaan Pers,” Kata Wakil Ketua Umum SMSI Pusat, Yono Hartono yang juga mendapingi Eros Djarot saat berpidato setelah menerima penghargaan.

Pemberian anugerah kepada Eros didasari penilaian bahwa Eros Djarot telah mengawal kemerdekaan pers sejak zaman Orde Baru dengan Tabloid Detiknya yang dibredel dan dilarang terbit semasa Orde Baru saat Jenderal Soeharto berkuasa. Eros dinilai mendorong demokrasi di Indonesia.

Bagi Eros atau nama lain Soegeng Rahardjo Djarot, putra kelahiran Lebak, Banten 22 Juli 1950, penghargaan untuk dirinya bukan lah yang pertama.

Sebelumnya, sebagai budayawan, penulis lagu, dan penulis skenario ini, penghargaan yang diterimanya sudah seabrek. Tahun 1976, 1978, dan 1981, ia sudah menerima penghargaan menjadi penata musik terbaik dan memenangkan penghargaan lewat lagu yang dinominasika: Kawin Lari, Badai Pasti Berlalu, Usia 18.

Ketika Eros mendapat penghargaan pejuang kemerdekaan pers dari SMSI, dia mengaku sedang tidak percaya masih ada orang pers yang berani saat ini. “Saya kira pers sudah mati, tidak berdaya, tidak punya nyali,” ujarnya.

Eros kaget dan merasa lega karena ternyata masih ada orang pers yang berpidato galak, seperti pidato yang disampaikan oleh Ketua Umum SMSI Firdaus.

“Saya jadi lega. Saya merasa terobati,” tutur Eros Djarot di depan para tamu undangan dan pengurus SMSI Pusat dan Provinsi, saat memberi sambutan setelah menerima penghargaan.

Dalam konteks pers sebagai pilar demokrasi keempat, kata Eros, SMSI lah yang punya fungsi sebagai pilar demokrasi. Ketua SMSI berani bicara galak pada pihak yang dinilai tidak beres dalam menjalankan tugas secara adil.

Eros menanggapi pidato Firdaus yang ia katakan “galak”. Firdaus melawan draf hak penerbit (publisher right) yang diajukan untuk ditandatangani presiden RI.

“Dalam draf itu ada rencana jahat untuk melakukan pembredelan media yang baru tumbuh secara sistematis lewat peraturan presiden. Media yang belum terverifikasi Dewan Pers tidak boleh mendapat iklan. Ini ulah konglomerasi, ingin menghegemoni bisnis media, dengan cara tidak sehat, tapi minta dilegitimasi presiden,” kata Firdaus.

Pada waktu yang sama SMSI juga memberi penghargaan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) asal daerah pemilihan Jambi Dr Ir HAR Sutan Adil Hendra, MM dan Pj Gubernur Banten Al Muktabar sebagai Sahabat Pers.

Pada puncak acara, Firdaus memberi penghargaan pin emas Direktur Kemitraan Berita Google untuk kawasan Asia Pasifik Kate Beddoe karena dinilai telah mengawal kemerdekaan pers, mendorong demokrasi, dan menyemai keberagaman dengan mendukung pertumbuhan ekosistem berita digital di Indonesia.

Komentar