Waahh….Tak Dikejar Malah Dapat Tax Amnesty, Pemerintah Takut!, Buru Pengemplang Pajak

JurnalPatroliNews – Jakarta,– Pemerintah baru-baru ini sesumbar akan melakukan tax amnesty jilid II, yang rencananya akan diatur lebih lanjut di dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Hal tersebut dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu kepada publik.

Anggota Komisi XI Fraksi PDIP DPR RI Andreas Eddy Susetyo menjelaskan, berdasarkan informasi yang diberikan oleh pemerintah, substansi RUU KUP tidak pernah mencantumkan adanya wacana tax amnesty.

Secara rinci, Andreas menjelaskan di dalam RUU KUP meliputi reformasi administrasi dan kebijakan perpajakan. Diantaranya melalui perluasan basis pajak, program peningkatan kepatuhan wajib pajak (WP), kemudian penguatan administrasi perpajakan dan kehadiran dan kesetaraan.

“Perluasan basis pajak itu juga meliputi pengenaan PPN multi tarif. Sedangkan yang tadi itu (Tax Amnesty) tidak disebut. Masuknya itu adalah program peningkatan kepatuhan WP,” ujarnya kepada rekan media dikutip Rabu (25/5/2021).

Andreas pun menolak apabila tax amnesty jilid II dijalankan, karena dinilai akan mengingkari komitmen UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang mengatur bahwa pelaksanaan tax amnesty hanya diberlakukan satu kali.

“Kami tidak setuju dengan wacana tax amnesty Jilid II sebagaimana beredar. Pelaksanaan tax amnesty jilid II akan meruntuhkan kewibawaan otoritas yang pada gilirannya berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak,” ujarnya.

Selain PDIP yang menolak adanya tax amnesty, fraksi lain seperti PKS, Gerindra, dan Nasional Demokrat juga berpandangan hal yang sama. Mereka meminta agar tax amnesty tidak dijadikan sebagai jalan pintas untuk menambah penerimaan negara.

Penolakan juga datang dari Ekonom Senior Faisal Basri. Dia mengkritik keras atas adanya wacana tax amnesty jilid II, yang dianggap hanya akan menciptakan moral hazard.

“Saya setuju tax amnesty ini menciptakan moral hazard. Artinya, ya sudahlah saya nyolong pajak terus, nanti 5 tahun lagi ada tax amnesty lagi. Jadi menurut saya sangat buruk,” ungkapnya dalam wawancara dengan rekan media, Senin (24/5/2021).

Rencana tax amnesty jilid II ini, kata Faisal juga muncul karena pemerintah dianggap tidak mampu untuk mengejar para pengemplang pajak yang dicurigai adalah orang-orang ‘kuat’ di negara ini.

“Ini karena pemerintah takut memburu pembayar pajak yang nakal. Jadi kan harusnya pemerintah menegakkan aturan, memburu pembayar pajak yang tidak benar dan tidak ikut tax amnesty, kenakan denda 100- 200%, Tapi sangat boleh jadi orang-orang itu orang-orang kuat. Nah oleh karena itu diberikan jalan,” ujarnya lagi.

Faisal menuding orang-orang tersebut berada dalam lingkaran terdekat Presiden Joko Widodo (Jokowi), bisa jadi politikus maupun pengusaha. Sehingga sulit bagi petugas pajak untuk mengejar hak dari negara.

“Orang kuat itu ada di dalam pusaran terdalam politik. mereka dekat dengan inti kekuasaan, dan mereka punya pengaruh politik yang besar,” terangnya. Faisal tidak menyebutkan secara spesifik orang yang dimaksud.

Faisal juga beranggapan bahwa kebijakan tersebut belum disetujui oleh kabinet. Meskipun tax amnesty menjadi pembahasan dalam revisi Undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), di mana surat presiden sudah diberikan kepada DPR.

Setelah adanya kisruh mengenai wacana tax amnesty jilid II, rencana lain kemudian muncul dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang ingin menghentikan tuntutan pidana bagi pengemplang pajak. Sebagai gantinya, ia ingin hukuman diganti menjadi sanksi administrasi semacam denda.

Gagasan ini disampaikan Ani, sapaan akrabnya, saat rapat bersama Komisi XI DPR di Gedung DPR/MPR pada Senin (24/5/2021). Ia juga meminta restu dari para anggota dewan terkait gagasan ini.

“Kami juga butuh dukungan DPR untuk administrasi perpajakan dengan menghentikan penuntutan pidana, namun melakukan pembayaran dalam sanksi administrasi,” ujarnya.

Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, hal ini bisa dilakukan karena Indonesia sudah punya sejumlah kerja sama dengan negara lain di dunia terkait pemetaan pengemplang pajak nasional di luar negeri. Gagasan ini akan membuat pemerintah punya tambahan bagi sumber penerimaan perpajakan.

“Jadi fokusnya pada revenue dan kerja sama dengan mitra-mitra dalam penagihan perpajakan kita,” ujarnya lagi.

Sri Mulyani menjelaskan, kebijakan tersebut akan termasuk dalam kerangka kebijakan yang masuk dalam revisi Undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

(*/lk)

Komentar