Hak-hak Menjelang Pelaksanaan Eksekusi Mati di Berbagai Negara dan Kontroversinya yang Dinilai Melanggar HAM

Kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia (HAM) mengatakan pemberitahuan singkat itu “sangat tidak manusiawi” dan secara material mempengaruhi kesehatan mental.

Para tahanan kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan Osaka pada Kamis lalu, dan gugatan itu adalah yang pertama kalinya.

Menurut mereka, pemberitahuan yang sangat mendadak tidak memberi mereka waktu yang cukup untuk mempersiapkan mental dan merenungkan akhir hidup mereka.

Sementara itu di Iran, eksekusi rahasia menyebabkan negara itu dikecam dunia internasional.

Dalam kasus pembunuhan di Iran, di mana terdakwa dijatuhi hukuman qisas (eksekusi), anggota keluarga korban diminta untuk melaksanakan sendiri eksekusi yang sebenarnya.

Keluarga korban juga dapat memberikan penangguhan hukuman kepada pelaku hukuman mati, dan hal itu pernah terjadi.

Seorang terdakwa pembunuhan sudah siap dihukum gantung. Namun, ibu korban yang menyaksikan proses eksekusi itu memutuskan untuk memaafkannya dan melepaskan talinya.

Ibu korban dan ibu terdakwa itu kemudian berpelukan di depan banyak orang yang berkumpul untuk menyaksikan eksekusi.

Menurut hukum Iran, perwakilan hukum dari terdakwa harus diberitahu 48 jam sebelum eksekusi, tetapi aktivis mengatakan hal ini tidak selalu terjadi, terutama dalam kasus yang berhubungan dengan politik dan keamanan.

Organisasi pembela HAM di Iran mengatakan praktik standar yang diterapkan di negaranya adalah dengan membawa tahanan ke sel isolasi beberapa hari sebelum kematian dan membiarkan mereka diborgol secara permanen.

Sementara itu, di Singapura muncul kekhawatiran tentang eksekusi seorang laki-laki yang memiliki IQ 69, kondisi yang diakui secara luas sebagai indikasi disabilitas intelektual.

Nagaenthran Dharmalingam ditangkap pada 2009 karena membawa 42,7 gram heroin ke Singapura dan akan digantung pada Rabu (10/11) pagi.

Kasusnya memicu protes yang jarang terjadi di Singapura, yang biasanya mendukung hukuman mati.

Pengacara Dharmalingam dan kelompok HAM yang berjuang untuk menyelamatkannya mengatakan Singapura melanggar hukum internasional dengan mengeksekusi seseorang yang mengalami gangguan mental.

Mereka sudah mengupayakan semua jalur hukum untuk banding dan juga mengirim permintaan grasi ke presiden, namun usaha ini tidak berhasil.

Pemerintah Singapura tetap kukuh dengan keputusan mereka dan mengatakan pria berusia 33 tahun itu “dengan jelas memahami tindakannya dan bisa membedakan antara benar atau salah”.

Prosedur hukuman mati di Mesir juga memicu kemarahan.

Meskipun hukum di negara tersebut menetapkan bahwa semua anak di bawah usia 18 tahun yang dinyatakan melanggar KUHP tidak akan “dihukum mati, dipenjara seumur hidup, atau kerja paksa”, sebuah laporan dari Reprieve — kelompok kampanye global yang dipimpin oleh para pengacara internasional — mengatakan bahwa setidaknya 17 anak telah menerima hukuman mati sejak 2011.

Reprieve mengatakan jaksa menggunakan celah untuk membawa anak-anak ke pengadilan orang dewasa untuk diadili, karena undang-undang mengizinkan mereka yang berusia di atas 15 tahun dan memiliki rekan terdakwa lain yang berusia dewasa, bisa diadili bersama.

Ketika Mahkamah Agung AS pada minggu ini memutuskan kasus Ramirez, Mahkamah Agung akan diminta untuk fokus pada cara mengeksekusi seseorang dengan tidak melanggar hak-hak beragama.

Namun, ketegangan antara prinsip martabat manusia dan praktik hukuman mati selalu tak bisa dipisahkan dan terjadi di seluruh dunia.

Ini pasti akan berubah menjadi perdebatan yang lebih besar di seputar hak-hak semua laki-laki dan perempuan yang menghadapi eksekusi hukuman mati.

Komentar