HeadlineKeuangan

Geliat Soal Utang RI, Sri Mulyani Tahu Omongannya Bikin Bulu Kuduk Berdiri, Tapi….

Beno
×

Geliat Soal Utang RI, Sri Mulyani Tahu Omongannya Bikin Bulu Kuduk Berdiri, Tapi….

Sebarkan artikel ini
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Dok.kemenkeu RI)

JurnalPatroliNews – Jakarta – Indonesia tercatat memiliki utang sebanyak Rp 7.733,9 triliun per Desember 2022. Besaran tersebut tercatat dalam Kaleidoskop Buku APBN KITA 2022 memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57%.

Jumlah utang Indonesia terekam terus meningkat secara nominal dan rasio utang bila dibandingkan dengan periode November 2022. Namun, jika dibandingkan dengan posisi Desember 2021, rasio utang tersebut turun. Rasio utang per Desember 2021 mencapai 40,74%. Meskipun turun, besarnya utang pemerintah ini tetap membuat bergidik ngeri. Bahkan nilai Rp 7.733,99 triliun tersebut setara dengan dua kali lipat lebih anggaran belanja negara tahun 2023. Tak pelak hal ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merinding.

JPN - advertising column


Example 300x600
JPN - advertising column

Dalam kunjungannya ke UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Sri mengungkapkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja (APBN) yang diandalkan menjadi instrumen keuangan negara sudah bekerja luar biasa keras dalam 3 tahun terakhir selama pandemi. Kini, APBN harus kembali disehatkan. Dia menyampaikan bahwa keuangan negara bekerja luar biasa, termasuk menggunakan instrumen utang yang akan dibayar kembali.

Kemenkeu sendiri mengklaim rasio utang terhadap PDB dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal Dari total utang Rp 7.733,99 triliun, perinciannya Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 6.846,89 triliun dan pinjaman Rp 887,10 triliun.
Berdasarkan jenisnya, utang Pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yang mencapai 88,53 persen dari seluruh komposisi utang akhir Desember 2022.

Sementara berdasarkan mata uang, utang pemerintah didominasi oleh mata uang domestik (Rupiah), yaitu 70,75 persen. “Langkah ini menjadi salah satu tameng pemerintah dalam menghadapi volatilitas yang tinggi pada mata uang asing dan dampaknya terhadap pembayaran kewajiban utang luar negeri,” tegas Kemenkeu.