Mengapa Debt Collector Gagal Sita Mobil Clara Shinta?

Dari situ dia beli beberapa mobil mewah. Antara lain, Porsche  dan Toyota Alphard. Dia sudah menikah, lalu cerai. Menghasilkan seorang anak laki ikut dia. Tapi, Clara ogah menjelaskan detail tentang itu. Alasannya, itu masalah privasi.

Tapi dia menceritakan mantan suami yang curang. Menggelapkan, tepatnya menggadaikan BPKB mobil milik Clara, yang sampai hendak disita penagih akhirnya viral itu.

Clara ke pers: “Jadi saya kan membeli mobil cash pada tahun 2021 gitu. Nah, pada waktu itu saya masih memiliki suami. Nah saya itu setiap hasil kerja saya atau apa pun itu, pasti saya titipkan ke ia (suami). Seperti, saya baru beli mobil ini, BPKB dan apa pun, saya titip ke dia untuk disimpankan.”

Dilanjut: “Tapi ternyata BPKB mobil itu  digadaikan sama mantan, sewaktu saya masih jadi istrinya. Dan yang digadaikan itu sebenarnya bukan mobil ini saja, ada dua mobil. Alphard sama Porsche.”

BPKB mobil Alphard sudah digadaikan suami Clara, pada saat mobil baru saja dibeli. Begitu juga BPKB mobil Porsche.

Ditanya, berapa kerugian Clara akibat BPKB mobil digadai?

Clara: “Kalau kerugian pasti banyaklah. Pinjaman gadai Rp 200 juta, itu untuk satu mobil, ya… yang Porsche. Untuk Alphard juga Rp 200 juta. Kalau yang Porsche orangnya (pemberi utang gadai) belum nuntut karena itu perorangan. Kalau yang Alphard yang mau disita itu pinjaman dari perusahaan leasing.”

Maka, Clara lapor Polda Metro Jaya untuk tuduhan penggelapan terhadap mantan suami. Sekaligus diperiksa sebagai saksi pembentakan polisi oleh penagih.

Bagaimana status hukum debt collector? Bolehkah menyita barang milik debitur yang menunggak pengembalian utang?

Dikutip dari Alexander Lay, advokat dari Pusat Bantuan Hukum Peradi, dalam artikelnya bertajuk: “Debt Collector Menyita Barang Milik Debitur”, disebutkan: Debt collector tidak berhak menyita barang. Jika itu dilakukan, berarti melanggar hukum pidana.

Disebutkan, prinsipnya, penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan negeri di lokasi sengketa. Tanpa surat putusan pengadilan, penyitaan berarti tindak pidana perampasan dengan paksa barang milik orang lain.

Debt collector dijerat Pasal 362 KUHP, bunyinya demikian:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian, kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Ini aturan hukum (KUHP) zaman Belanda yang saat diundangkan dulu, uang Rp 900 cukup bernilai. Sekarang, parkir motor saja Rp 2 ribu.

Itu pasal perampas. Sedangkan, kalau perampasan barang disertai dengan kekerasan, melanggar Pasal 365 KUHP. Di Ayat 1 bunyinya begini:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, terhadap pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.”

Dalam buku karya Munir Fuady bertajuk: “Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer”, tentang perampasan barang milik orang lain itu dirinci ada enam item, demikian:

1) Adanya tindakan oleh pelaku. 2) Adanya maksud (keinginan) pelaku. 3) Menguasai/memiliki barang pihak lain. 4) Pihak korban adalah pihak yang berwenang menguasai barang tersebut. 5) Adanya hubungan sebab akibat. 6) Tidak dengan persetujuan dari korban.

Komentar