Stafsus BPIP: Pemimpin Masa Depan Harus Mampu Aktualisasikan Pancasila

Pakar komunikasi politik ini juga menyatakan bahwa debat-debat yang sudah dilaksanakan untuk pemilihan calon presiden, misalnya, dapat menjadi sarana berpikir kritis untuk memilih yang kritis juga.

“Lihat debat-debat itu, lihat mana yang memiliki visi misi, yang tenang, yang tidak punya tujuan, ataupun emosional. Bisa dilihat secara obyektif siapa yang bisa dipilih. Juga dengan calon legslatif dan pemimpin daerah: lihat track record dan cara dia bertindak dan berperilaku di publik. Itulah berpikir kritis untuk bisa memilih yang baik dan benar.”

“Jangan hanya ikut arus, mellow, merasa kasihan, terbuai dengan janji, maka memilih orang-orang tersebut. Kalau kita memilih yang salah, kita ikut menderita, anak cucu kita juga ikut menderita,” tegasnya.

Benny pun menegaskan bahwa pemimpin yang harus dipilih adalah yang mampu mengaktualisasikan Pancasila.

“Mereka punya rasa, punya rasa ketuhanan. Dengan rasa ketuhanan, dia menghargai martabat manusia, maka tidak akan mereka memecah belah umat. Cari pemimpin yang mampu membangun kebersamaan, dan tidak terjebak dengan memecah belah umat atau memakai politik identitas, dan yang terakhir, adalah pemimpin yang tidak membeda-bedakan golongan etnis atau agama,” tuturnya.

Darwin menyatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia menghadapi sebuah realita bahwa yang dihadapi lebih sulit daripada saat penjajahan.

“Saat masa penjajahan dan baru merdeka, musuhnya satu dan jelas: kolonialisme. Sekarang, bisa jadi saudara-saudara kita sendiri; ini sangat berpotensi memecah belah Indonesia,” katanya.

Dia juga menyatakan bahwa untuk menghindari perpecahan, maka ada beberapa kriteria yang harus dilihat dan menjadi perhatian.

“Mereka harus menghargai keyakinan agama dan etnis yang berbeda-beda, menjunjung tinggi HAM sepanjang karyanya, tidak otoriter dan mau mendengar aspirasi rakyat, dan mampu serta bercita-cita mewujudkan keadilan sosial. Yang penting juga: empat pilar kebangsaan dihidupi.”

Komentar