Jokowi-Gibran Segalanya??? Atau Indonesia?!

OLEH: ERROS DJAROT

Bila kemudian Prabowo melamar Gibran sebagai calon Wakil Presidennya, Selamat kepada Pak Prabowo. Dan kepada Ganjar rasanya harus juga saya ucapkan Selamat menuai keuntungan yang akan lebih memuluskan jalan Anda menuju Istana

Jokowi adalah Presiden RI yang sangat banyak menuai pujian. Kerja nyatanya membangun negara agar menjadi lebih baik dan tampil secara fisik lebih memukau, membuat rakyat begitu mengaguminya . Bahkan banyak yang memberikan acungan dua jempol untuk kerja pembangunan material-fisik (ansich) yang dapat dilihat secara nyata, bukan wacana. Presiden Jokowi pun menjadi people darling yang setiap berkunjung ke seluruh penjuru negeri, sangat dielu-elukan oleh rakyat setempat. Ia disanjung dan dipuja secara luar biasa.

Namun dalam perjalanan kepemimpinannya, ketika puja-puji cenderung berkembang ke arah kultus individu, rasanya sangat perlu untuk dikritisi secara serius. Karena, pengkultusan ini ternyata berpotensi membunuh akal sehat dan kejernihan berpikir sebagian besar rakyat belakangan ini. Banyak yang seakan lupa bahwa Jokowi hanyalah manusia biasa. Sebagai manusia biasa, Jokowi pun pasti juga tidak luput dari kesalahan. Baik kesalahan tak disengaja, maupun kesalahan yang secara sadar dilakukan karena harus dijalankan untuk tujuan tertentu.

Misalnya dalam beberapa kasus, sekalipun beliau sudah diingatkan untuk jangan dilakukan, tapi tetap saja dijalankan. Karena sudah sangat yakin bahwa setiap langkah politiknya, pasti akan didukung penuh oleh rakyat. Sudah terbangun begitu kokoh kepercayaan diri Presiden Jokowi karena saking seringnya mendengar suara-suara yang menjamin bahwa dirinya adalah seorang pemimpin rakyat yang menjadi ‘people darling’, pujaan rakyat. Sehingga terbangun lah keyakinan bahwa apa pun yang dilakukannya, rakyat akan mendukungnya dan membenarkannya sebagai langkah yang pasti benar dan baik untuk membawa Indonesia menjadi lebih maju.

Kemungkinan keyakinan inilah yang membuat diri seorang Jokowi hari ini terkesan sebagai sosok yang ‘untouchable’. Tercermin dalam perilaku politiknya yang kian terasa sangat ‘over convident’. Sehingga menunjukkan gejala yang bisa mengantarkan dirinya sebagai pemimpin yang bisa menepuk dada dan berujar…Le ‘etat ce moi, Negara adalah saya! Satu kondisi kejiwaan yang sering menggoda dan membawa seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan super besar, menjadi lupa bahwa di atas langit masih ada langit.

Dalam kaitan negara, di atas diri seorang Presiden masih ada rakyat yang selamanya tidak bisa dikurung dalam kegelapan. Dan pada saat sinar terang datang mengusir kegelapan, maka ruang kegelapan itu akan berpindah tempat. Bukan lagi di ruang kehidupan rakyat, tapi sang pemimpin lah yang bakal terkurung dalam kegelapan yang akan mengakhiri kekuasaan dan kejayaannya. Tragedi seperti ini bisa kita temui dalam sejumlah catatan sejarah kekuasaan politik dari para pemimpin besar di dunia. Contoh paling ekstrim adalah riiwayat kekuasaan seorang Hitler, sang diktaktor yang kekuasaannya berakhir dengan sangat tragis.

Contoh yang disodorkan ini memang sangat ekstrem dan tidak pas bahkan sangat jauh untuk dijadikan bahan perenungan ketika saat menyoal masalah kekuasaan Jokowi dan Indonesia hari ini. Tapi dengan menyodorkan contoh yang sangat ekstrem ini, merupakan harapan terbangunnya kesadaran para elite penguasa di negeri ini untuk melakukan perenungan di ruang kontemplasi dan bertanya pada diri; Indonesia yang seperti inikah yang kita harapkan dan impikan?

Sebuah Indonesia yang kaya akan praktik mafia di segala bidang kehidupan penyelenggaraan negara? Sebuah Indonesia yang perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegaranya dikendalikan oleh kekuasaan Oligarki yang begitu besar dalam menentukan nasib dan masa depan rakyat bangsa Indonesia ke depan? Sebuah Indonesia yang pranata hukumnya, para penegak hukumnya, lembaga peradilannya, Lembaga Yudkatifnya, hampir sepenuhnya terkooptasi oleh kepentingan Oligarki? Sebuah Indonesia yang etika dan tata nilai kehidupannya dibangun oleh penguasa demi memperkokoh kekuasaannya? Sebuah Indonesia tanpa Trisakti, tanpa Revolusi Mental, tanpa budaya gotong-royong, tapi justru mengadopsi Liberalisme-individualisme dan Kapitalisme serakah???

Komentar