Heboh China Kembali Klaim Natuna RI, Ini Fakta-faktanya!

JurnalPatroliNews – Jakarta, Kapal penjaga pantai (coast guard) China masuk ke wilayah Natuna RI pada Sabtu (12/9/2020). Menurut laporan Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), kapal dengan nomor lambung 5204 itu terus berada di kawasan selama akhir pekan dan menolak untuk pergi meski sudah diperingatkan.

Alasannya adalah karena mereka sedang berpatroli di area nine dash line (sembilan garis putus-putus), tambah Bakamla dalam rilis yang diterima CNBC Indonesia, kemarin.

“Kapal Coast Guard China kedapatan berkeliaran di ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif RI) Laut Natuna Utara, yang merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia,” jelas Bakamla.

“Meskipun sudah ditanyakan maksud keberadaannya, kapal China enggan pergi dan berkeras di area tersebut.”

Lalu, bagaimana kronologi sebenarnya dari kejadian tersebut?

Kronologi

Menurut Bakamla, kapal penjaga pantai China itu masuk Natuna sejak pukul 10.00 WIB hari Sabtu. Kapal tetap bertahan di perairan hingga Minggu meski sudah diperingatkan untuk pergi.

Saat diusir, mereka berdalih tidak melanggar aturan karena melakukan patroli di wilayah nine dash line. Pada saat pengusiran, Bakamla RI menyampaikan bahwa berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on The Law of The Sea), nine dash line tidak diakui keberadaannya.

Kapal itu pun diusir agar segera keluar dari wilayah yurisdiksi Indonesia. Namun sampai Minggu kemarin belum ada langkah apapun yang diambil kapal untuk meninggalkan perairan tersebut.

“Sampai saat ini (Minggu), kedua kapal masih saling membayang-bayangi satu sama lain. KN Nipah 321 terus berupaya menghalau CCG 5204 keluar dari ZEEI,” kata Bakamla.

Tanggapan Kemlu

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah, pada Senin mengatakan kepada CNBC Indonesia bahwa Kemlu telah memanggil Perwakilan China di Jakarta untuk membahas masalah ini.

“Dalam praktek diplomasi langkah yang diambil beragam dan salah satunya dengan memanggil perwakilan asing (satu negara) oleh Kemlu,” jelas Faizasyah.

Ia juga mengatakan bahwa Kedutaan Besar China di Jakarta telah memberi tanggapan. “Hal-hal yang disampaikan RI akan dilaporkan ke Beijing,” katanya melalui pesan singkat pada CNBC Indonesia.

Sebelumnya pada Minggu, Faizasyah juga mengatakan Kemlu telah menyampaikan langkah resmi ke China soal isu tersebut setelah menerima laporan dari Bakamla.

“Kemlu menegaskan kembali kepada Wakil Dubes RRC bahwa ZEE Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih perairan dengan RRC dan menolak klaim 9DL RRC karena bertentangan dengan UNCLOS 1982,” ujar Faizasyah.

Kedua Kali

Kejadian kapal berbendera China memasuki perairan RI ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada akhir tahun lalu, kejadian serupa juga pernah terjadi. Pada saat itu, kapal pencari ikan dan coast guard milik China berlayar di kawasan perairan Natuna.

Indonesia bahkan sampai mengirimkan protes keras ke China karena melanggar ZEE RI pada 30 Desember 2019. Melalui Kementerian Luar Negeri, RI memberi nota keberatan dan juga memanggil Duta Besar China.

Pasca kejadian itu, TNI dan Bakamla juga terus disiagakan di Perairan Natuna yang masuk dalam Provinsi Kepulauan Riau, untuk memantau kondisi.

Setelah perdebatan itu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pun langsung melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada 8 Januari. Kunjungan itu terbilang cukup berhasil karena setelahnya China mengungkapkan bahwa masalah tersebut hanya perlu diselesaikan dengan komunikasi yang baik antara kedua negara.

“Saya ingin menekankan bahwa China dan Indonesia tidak memiliki perselisihan mengenai kedaulatan wilayah. Kami memiliki klaim hak dan kepentingan maritim yang tumpang tindih di beberapa wilayah di Laut Cina Selatan.” kata Juru Bicara Menteri Luar Negeri China, Geng Shuang pada saat itu.

Nine Dash Line

Nine dash-line China adalah sembilan garis putus-putus yang digambar di peta pemerintah China. Garis itu menandakan klaim China atas wilayah Laut China Selatan.

Singkatnya, nine dash-line adalah klaim sepihak China atas kedaulatan dan kontrol suatu wilayah baik itu tanah, air, dan dasar laut. Parahnya, China disebut tidak menetapkan dengan jelas koordinat untuk pulau atau garis dasar untuk klaimnya.

Mengutip laporan South China Morning Post, nine dash-line pertama muncul sebagai 11 dash-line pada tahun 1947 ketika angkatan laut Republik China saat itu menguasai beberapa pulau di Laut China Selatan. Pada masa itu Laut China Selatan telah diduduki oleh Jepang selama perang dunia kedua. Pada awal 1950-an dua dari sebelas dash-line itu dihapuskan.

China vs ASEAN

Klaim China di wilayah Laut China Selatan sangatlah luas, mencakup sekitar 90% kawasan. Dari Kepulauan Paracel yang diduduki China tapi diklaim Vietnam dan Taiwan, hingga Kepulauan Spratly yang disengketakan dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, sebelumnya China dan ASEAN telah mengupayakan pembentukan kode etik atau code of conduct soal Laut China Selatan. Di mana pada 2002, semua pihak telah sepakat soal pembentukan seperangkat pedoman yang dikenal sebagai Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan.

Deklarasi yang dibuat pada November 2002 ini bertujuan untuk mempromosikan lingkungan yang damai, bersahabat dan harmonis di Laut China Selatan untuk meningkatkan stabilitas, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di kawasan.

Pada pertemuan antara China dan ASEAN pada tahun 2018, Perdana Menteri China Li Keqiang mengusulkan bahwa kode tersebut harus diselesaikan pada tahun 2021.

Pihak-pihak yang terlibat juga pada awal bulan ini baru membahas kemajuan dalam pembentukan kode etik tersebut. Di mana China mengatakan negaranya ingin menyelesaikan pembentukan kode etik atau code of conduct soal Laut China Selatan secepatnya. Tujuannya adalah demi menghindari bentrokan di kawasan yang diperebutkannya dengan sejumlah negara tersebut.

“China harus menyelesaikan kode etik dengan negara-negara ASEAN secepat mungkin untuk menciptakan seperangkat aturan yang mencerminkan karakteristik kawasan itu,” kata Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, dikutip Kamis (10/9/2020).

(cnbc)

Komentar