Bagaimana Kasus George Floyd Mengubah Pandangan Murid-murid di China Tentang Rasisme

JurnalPatroliNews,– Pembunuhan George Floyd dan aksi unjuk rasa Black Lives Matter di berbagai belahan dunia telah mendorong banyak percakapan yang mungkin tidak pernah terjadi.

Jasmine Cochran, 37 tahun, menyaksikan percakapan itu di sekolah tempatnya mengajar di China.

Kampung halaman Jasmine, Picayune, dinamai berdasarkan koin dalam mata uang Spanyol yang nilainya lebih kecil dari satu penny.

Kota kecil itu sempat populer ketika mata Badai Katrina menghantamnya pada Agustus 2005.

Selama beberapa hari, foto-foto pepohonan yang runtuh di Picayune muncul di beberapa surat kabar nasional.

Namun Katrina menyebabkan kerusakan lebih besar di kota tetangga, New Orleans, jadi perhatian media pun segera teralihkan.

“Picayune secara harfiah berarti ‘sesuatu yang begitu biasa saja dan tidak berharga’,” kata Jasmine sambil tertawa.

Sebagai perempuan Afrika-Amerika yang tinggal di Deep South, wilayah yang pernah menjadi pusat perbudakan di selatan AS, Jasmine sadar bagaimana orang-orang menilainya.

Di masa kanak-kanak, ketika ia bermain di luar rumah dekat pohon ek, para pria suka memacu kendaraan mereka cepat-cepat ke arahnya, kemudian membanting setir tepat saat mereka akan menabraknya; suara tawa terdengar lantang dari jendela truk mereka.

Ketika pada masa remaja ia bekerja paruh-waktu sebagai kasir di toko swalayan lokal, seorang pelanggan meneriakinya tanpa sebab.

“Kamu lihat cincinnya?” atasan Jasmine bertanya.

“Tidak?”

“Itu cincin Klan. Dia adalah anggota Ku Klux Klan (organisasi supremasi kulit putih),” kata bosnya. “Tapi jangan khawatir, aku akan melindungi kamu.”

Rasisme yang dialami Jasmine selama tumbuh dewasa di perbatasan Mississippi dan New Orleans begitu kasar, dan terang-terangan.

Tak lama setelah lulus kuliah, pada awal usia 20-an, Jasmine menikah dan melahirkan dua anak perempuan.

Dia dan suaminya mempertimbangkan untuk pindah ke luar negeri, tapi itu tetap jadi wacana hingga suatu hari Jasmine mendesak suaminya.

“Begini, Bung,” ujarnya, “apakah kita benar-benar akan melakukan ini?”

“Aku mau!” suaminya menjawab, “masalahnya kamu! Kamu yang tidak mau meninggalkan mamamu.”

Mereka saling menatap dan tersenyum. Keputusan itu dibuat. Ketika mereka mulai membicarakannya dengan kawan-kawan, seseorang mengatakan bahwa China sedang membuka lowongan untuk guru sekolah menengah.

Itu akan menjadi kesempatan bagus bagi kedua anak perempuannya.

Jadi pada 2016, ketika anak mereka berusia dua dan enam tahun, Jasmine dan suaminya pindah ke China. Mereka awalnya mengajar di sebuah SMA di wilayah utara dan kemudian pada 2018 pindah ke Guangzhou di selatan.

Rasisme yang dia alami di China, negara yang 91% populasinya adalah China Han, berakar dari kenaifan dan ketidaktahuan, ujarnya.

Di jalanan orang-orang meraba-raba kulitnya dan rambutnya, dan beberapa orang bahkan membuntutinya. Pengalaman itu terasa invasif dan menyebalkan, tapi tidak kejam.

Namun di dalam kelas, dia menghadapi masalah berbeda.

Jasmine tahu bahwa sangat mungkin dia adalah orang kulit hitam pertama yang ditemui para muridnya.

Dia jelas merupakan yang pertama dalam posisi otoritas. Karena itu, dia harus menyusun silabus pengajarannya dengan cermat.

Di Guangzhou, Jasmine mengajar bahasa dan sastra Inggris pada siswa berusia 14 hingga 16 tahun.

Meski sangat ingin mendiskusikan sejarah kulit hitam dengan mereka, ia memutuskan untuk menghindari cerita tentang perbudakan di awal.

“Jika perkenalan Anda ke sekelompok orang adalah perbudakan, maka yang terjadi ialah berkembang paradigma bahwa orang-orang ini lemah,” tuturnya.

Jadi dia mulai dengan cerita Mansa Musa, Kaisar Mali yang disebut-sebut sebagai orang terkaya di Abad Pertengahan.

Literatur tentang perdagangan budak transatlantik hanya satu bagian kelam dari cerita orang kulit hitam, dia mengajarkan muridnya. Bukanlah awal dan jelas bukan akhirnya.

Sebagian besar siswa menerima hal yang Jasmine katakan dan mengajukan pertanyaan terkait. Tapi beberapa menolak.

Mereka mempertanyakan ceritanya tentang kekayaan dan peradaban Afrika.

Mereka juga tak setuju dengan otobiografi penulis antiperbudakan dari kelompok Afrika Amerika, Frederick Douglas, yang melawan petani yang mencambuknya, lalu kabur ke Massachusetts dan menjadi penulis dan orator.

Itu terasa seperti fiksi, kata seorang murid. Murid lain bertanya apakah guru kulit putih bisa dipanggil untuk mendukung hal yang diajarkan Jasmine kepada mereka.

Ada juga satu murid yang menulis surat kepada Jasmine, mengatakan bahwa dia lebih suka diajari guru kulit putih.

Murid perempuan itu tidak paham bagaimana orang kulit hitam bisa menuntut kesetaraan; menurutnya, mereka harus berusaha mendapatkannya sendiri.

Jasmine tersinggung, namun dia memaksa dirinya untuk memikirkan bagaimana menangani ini dengan sensitif pada muridnya dan budaya baru yang dia hadapi.

Dia meminta sejumlah koleganya yang berkulit putih untuk membantu. Mereka bersedia.

Kolega Jasmine pun berbicara kepada para murid dan menantang mereka untuk berpikir tentang mengapa mereka tidak bisa menerima perkataan dari guru yang berkulit hitam.

Ketika para murid kembali ke sekolah setelah lockdown di China berakhir pada bulan April, rasanya ada yang berubah.

Jasmine telah mengajar murid-murid yang sama selama hampir dua tahun, dan jelas bahwa ada sesuatu di pikiran mereka. Para murid pun segera memberi tahu Jasmine tentang hal yang ingin mereka bicarakan.

“Pernah dengar tentang Ahmaud Arbery, Miss?”

Tentu saja, Jasmine telah mengikuti berita tentang pria Afrika Amerika yang dikejar dan ditembak oleh sepasang ayah-anak kulit putih saat sedang lari pagi.

“Tunggu, bagaimana kalian bisa dengar tentang Ahmaud Arbery?”

“Mengerikan sekali,” mereka menjawab.

“Ya,” kata Jasmine, “memang mengerikan.”

Para muridnya membaca tentang Arbery di internet. Mereka tidak percaya bahwa seseorang bisa terbunuh hanya karena lari pagi.

Jasmine mengatur percakapan supaya mereka bisa membicarakannya di dalam kelas.

Kemudian pada 25 Mei, berita pembunuhan pria kulit hitam lain di Amerika – kali ini dalam bentuk video berdurasi delapan menit 46 detik – mencapai kelas Jasmine.

Kelompok murid yang sama menghampiri dirinya lagi.

Hal yang terjadi pada George Floyd begitu mengusik mereka sehingga membuat mereka berpikir tentang pengaruh anti-kulit hitam di keluarga mereka, ujarnya.

Dengan canggung, mereka mulai mengaku bahwa keluarga mereka pernah menyebut orang kulit hitam bodoh, dan berbahaya.

Menentang keyakinan orang tua berlawanan dengan budaya China, tapi di sini mereka menyaksikan satu momen global yang besar.

“Apakah saya akan percaya pada apa yang dikatakan orang tua saya, yang hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang kulit hitam?” kata mereka kepada Jasmine.

“Ataukah saya akan percaya pada apa yang saya lihat di layar ponsel ini, dan di hadapan saya dengan Anda?”

Jasmine memutuskan untuk menyertakan pertanyaan ini dalam bahan ajar, kali ini dengan membaca naskah drama Oscar Wilde, The Importance of Being Earnest.

“Di Babak Ketiga seorang karakter berkata bahwa mereka hidup di zaman permukaan,” Jasmine menjelaskan.

“Dan jadi kita bicara tentang apakah kita hidup di zaman permukaan, ataukah kita hidup di zaman pencerahan ketika orang-orang menyadari apa yang terjadi pada sesamanya?”

Seorang murid begitu tergugah dengan pesan itu, sampai ia pulang ke rumah untuk menulis puisi tentang George Floyd.

“Generasi muda tidak akan menerima ini,” tulisnya. “Revolusi dimulai dari kami.”

Jasmine mengakui bahwa menyaksikan gerakan Black Lives Matter dalam beberapa pekan terakhir membuatnya letih.

Dia jadi susah tidur, memikirkan bagaimana jadinya dunia setelah ini. Dia membayangkan bagaimana para muridnya akan memproses semua ini.

Tapi kemudian ia menatap kedua anak perempuannya, kini usia mereka enam dan 10 tahun, piawai berbahasa Mandarin dan Inggris, benar-benar merupakan warga global dengan dunia dalam genggaman mereka.

“Mereka berdebat tentang siapa perempuan Afrika Amerika pertama yang bakal jadi presiden,” kata Jasmine sambil tersenyum.

Anak-anak dari perempuan dari Picayune, kota “tidak bernilai”, yang tahu nilai mereka sendiri. (BBC Indonesia)

Komentar