Investasi Migas 2020 Terpuruk, Tutuka Ungkap, Ada Dua Hal Jadi Biang Kerok Utamanya

JurnalPatroliNews – Jakarta, Pandemi Covid-19 berimbas pada semua lini bisnis, terutama sektor minyak dan gas bumi (migas). Pandemi ini pun berdampak pada melemahnya investasi di sektor migas pada tahun ini.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi di sektor migas hingga Oktober baru mencapai US$ 8,1 miliar atau baru sekitar 59% dari target tahun ini yang sebesar US$ 13,8 miliar.

Begitu pun spesifik hulu migas, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas hingga akhir tahun ini diperkirakan hanya mencapai US$ 10,8 miliar, lebih rendah dari capaian 2019 yang sebesar US$ 11,8 miliar.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, ada dua hal yang membuat investasi di sektor migas tahun ini terpuruk.

Pertama adalah harga minyak yang rendah, bahkan kondisi ini terjadi sejak sebelum pandemi Covid-19 menyerang, yang disebabkan kelebihan dari suplai. Lalu, kondisi ini diperburuk dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat permintaan minyak turun.

“Jadi, memang ada dua hal yang memberatkan kondisi saat ini, pertama bahkan sebelum Covid, harga minyak sudah rendah karena banyaknya suplai. Lalu ada Covid-19, demand turun lagi, ini memperparah kondisi industri sampai hari-hari ini,” paparnya dalam wawancara bersama rekan media, Senin (21/12).

Tutuka menyebut, bukan perkara mudah menaikkan permintaan minyak dan ini tidak bisa dilakukan dengan cepat. Bahkan, lanjutnya, permintaan minyak pada tahun ini diproyeksikan menurun hingga 35%.

“Nah penurunan demand ini yang memberatkan. Create demand tidak bisa cepat dan disinyalir sekitar 35% demand minyak turun (tahun ini),” jelasnya.

Sementara dari sisi produksi minyak di dalam negeri menurutnya kini juga masih melandai di kisaran 700-an ribu barel per hari (bph), sehingga untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri juga masih cukup berat.

Namun demikian, menurutnya kondisi iklim investasi lebih baik terjadi pada gas, di mana potensi masih besar dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebutuhan dalam negeri.

“Gas is better, minyak kita perlu kerja keras,” kata Tutuka.

Sementara itu, Pengamat Migas dan Direktur Utama Pertamina Periode 2006-2009 Ari Soemarno menyebut tidak menariknya investasi migas tahun ini disebabkan karena faktor internal dan eksternal.

Dari sisi faktor internal menurutnya karena Indonesia sudah menjadi negara yang dinilai tidak atraktif untuk investasi migas dan sudah berjalan sejak 2016.

Bahkan, pada 2017 dan 2018 investasi di hulu migas Indonesia menurutnya menjadi salah satu dari lima negara yang paling tidak menarik untuk investasi. Dia mengatakan, ini disebabkan karena beberapa hal, di antaranya insentif fiskal yang tidak kompetitif, masalah birokrasi, perizinan, dan pemerintah mengadopsi pola bagi hasil lain seperti gross split.

“Dan juga kebijakan yang nasionalisme sempit ya misalnya lapangan migas yang sudah berakhir masa kontraknya diserahkan ke Pertamina. Terjadi di Blok Mahakam dan Rokan. Ini buat pelaku migas jadi agak ragu melakukan investasi,” jelasnya.

Sementara faktor eksternal adalah perusahaan migas yang melakukan konsolidasi terdampak pandemi Covid-19. Konsumsi migas yang turun membuat perusahaan migas melakukan pengurangan produksi. Bahkan, investasi migas secara global pada 2020 dibandingkan 2015 menurutnya turun hampir separuhnya.

“Yang tadinya US$ 600-700 miliar, tahun 2020 hanya menjadi US$ 300 miliar. Jadi, memang mereka sedang lakukan konsolidasi karena faktor penurunan konsumsi dan harga. Dan juga satu lagi faktor mereka mengarah ke energi terbarukan dan low carbon emission, bahkan zero carbon di 2050,” tegasnya.

Menanggapi pernyataan Ari, Tutuka menyebut jika pemerintah sudah melakukan langkah antisipasi. Pertama, menyiapkan berbagai macam insentif. Kedua adalah menyediakan fasilitas perpajakan yang mendukung untuk tumbuhnya iklim investasi. Serta hal lain seperti pembebasan atau pengurangan biaya sewa barang milik negara.

Lalu PSC cost recovery akan lebih variasi dalam menghadapi pandemi Covid-19 dengan tambahan variabel.

“Kemudian perizinan saat ini sudah bagus dikurangi ya, kita dukung percepatan proses, untuk pengeboran misalkan percepatan perizinan Amdal,” tegas Tutuka.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial mengatakan pandemi Covid-19 berdampak ke semua sektor, termasuk energi dan pertambangan. Akibat pandemi, investasi di sektor energi di Tanah Air tahun ini terpuruk, diperkirakan sampai akhir tahun ini turun 31% menjadi US$ 22 miliar-US$ 23 miliar atau sekitar Rp 310 triliun (asumsi kurs Rp 14.100 per US$) dari tahun lalu yang mencapai US$ 31,9 miliar.

Dia mengatakan, sampai dengan Oktober 2020, investasi sektor energi dan sumber daya mineral mencapai US$ 17,7 miliar.

“Covid-19 memukul berbagai sektor, termasuk sektor ESDM. Tahun 2019 investasi capai US$ 32 miliar, namun tahun ini kita rekap sampai Oktober baru US$ 18 miliar. Outlook di akhir tahun ini, investasi sektor ESDM hanya akan capai 70% dibanding 2019 atau hanya sekitar US$ 22-23 miliar,” ungkapnya dalam diskusi yang diselenggarakan Tempo melalui kanal YouTube, Senin (14/12).

(*/lk)

Komentar