Bantah Anggapan Publik Soal Pasal Penghinaan Presiden, Wamenkumham: Kita Sedang Buat KUHP Indonesia, Bukan Perancis Atau AS,

JurnalPatroliNews Jakarta -Rencana pemerintah memasukkan Pasal Penghinaan Presiden ke dalam draf revisi KUHP bukan menghidupkan pasal yang sudah dihapus oleh Mahakamah Konstitusi (MK).

Begitu Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej membantah anggapan publik mengenai isu tersebut.

“Ini (anggapan menghidupkan kembali Pasal Penghinaan Presiden yang ditolak MK) adalah suatu kekeliruan,” ujar sosok yang kerap disapa Eddy Hiariej di Jakarta, Senin (14/6).

Eddy menekankan, apa yang dibuat pemerinah merupakan satu delik aduan. Berbeda dengan yang dimatikan MK pada saat Pasal 134 KUHP diuji pada 2006, yang merupakan delik biasa.

Selain itu, Eddy juga tidak setuju dengan anggapan sejumlah kalangan yang memandang penghinaan terhadap presiden dan atau wakil presiden dimasukkan saja ke dalam pasal penghinaan atau pencemaran nama baik secara umum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 310 sampai 321 KUHP.

Pasalnya ia menilai, jika penghinaan kepada presiden atau wakil presiden masuk dalam pasal-pasal tersebut maka pasal tentang makar sebaiknya juga ikut dihapus.

“Toh makar itu adalah pembunuhan terhadap presiden dan wakil presiden,” tegasnya.

Maka dari itu, Guru Besar hukum Pidana Universitas Gadjah Mada ini mengatakan bahwa Presiden merupakan personifikasi suatu negara yang perlu diatur secara khusus.

Terlebih, Eddy menyatakan, aturan hukum penghinaan atau pencemaran nama baik di satu negara dengan negara lain berbeda. Maka, Indonesia dalam rancangan revisi KUHP-nya ingin menyesuaikan dengan kultur yang ada di dalam negeri,

“Kita sedang membuat KUHP Indonesia yang multikultural, multietnis dan multireligi. Bukan KUHP Perancis, Amerika Serikat dan lain sebagainya,” demikian Eddy Hiariej.

(*/lk)

Komentar