Rujuk Diplomatik Iran-Arab Saudi Dan Sosio-Nasionalisme Bung Karno

JurnalPatroliNews – Jakarta – Dunia dikejutkan oleh satu peristiwa diplomatik bersejarah. Perseteruan dua negara Islam besar dan berpengaruh di geo-politik Timur Tengah berakhir di meja perundingan. Betapa tidak terkejut, tanpa diplomasi hiruk pikuk, Arab Saudi dan Iran mencairkan kembali hubungan diplomatik yang sudah dibekukan selama 7 tahun. Penandatanganan dokumen pemulihan hubungan diplomatik itu dilakukan di Beijing, 10 Maret 2023.

Dokumen yang ditandatangani oleh pejabat tinggi keamanan Iran, Ali Shamkhani, dan penasihat keamanan nasional Arab Saudi Musaed bin Mohammed Al-Aiban, selain memulihkan hubungan diplomatik, juga menyetujui pengaktifkan kembali perjanjian kerja sama keamanan tahun 2001, serta pakta lain sebelumnya tentang perdagangan, ekonomi dan investasi.

Rujuk diplomatik Iran-Arab Saudi ini dinilai relatif lebih cepat jika menimbang derajat keseriusan masalah diplomatik antar kedua negara.

Publik internasional masih ingat, betapa amarah kedua belah pihak membuhul ke permukaan tatkala kedua negara baku balas tindakan diplomatik.

Ketegangan diplomatik dipantik oleh keputusan Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi mati ulama Syiah yang dituduh terlibat terorisme pada 2 Januri 2016. Iran pun membalas. Demo massa memprotes eksekusi mati itu dan menyerbu Kedutaan Arab Saudi di Teheran. 

Dua insiden diplomatik terakhir ini hanya pemuncak dari krisis hubungan diplomatik kedua negara yang sudah berlangsung sejak lama. Sejatinya perseteruan kedua negara sudah lama dan semakin memburuk setelah meletus perang saudara di Suriah pada 2011 dan konflik di Yaman 2015.

Dalam konflik di Suriah, Iran mendukung rezim Bashir Al-Asad, sementara Arab Saudi membantu kelompok pemberontak. Dalam konflik di Yaman, Iran membantu minoritas Syiah, Houthi, memberontak kepada pemerintah dan menduduki ibukota Sanaa.

Arab Saudi sebaliknya mendukung pemerintah yang digulingkan. Bagaimana membaca perubahan konstelasi geo-politik di Timur Tengah ini dari perspektif ideologi dalam hubungan antar-negara? 

Pencairan hubungan diplomatik itu membentangkan lansekap tafsir yang luas terhadap hubungan antara ideologi dan kerjasama antar-negara. Jika ada dua negara Islam (meski beda aliran) membuka kembali hubungan diplomatik, itu lumrah saja dalam jagad diplomasi dan politik internasional.

Tapi tatkala rujuk diplomasi itu dimediasi oleh China, yang notabene secara ideologi (sosialis-komunis) berbeda secara diametral dengan ideologi kedua negara yang berseteru (Islam), hal itu membuka ruang tafsir beraneka. 

Komentar