Rujuk Diplomatik Iran-Arab Saudi Dan Sosio-Nasionalisme Bung Karno

Dalam konteks hubungan antar-negara, Bung Karno pernah merumuskan dengan indah dialektika antara nasionalisme dan internasionalisme.

Dalam pidato 1 Juni 1945, kelahiran Pancasila, Bung Karno mengatakan “Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme.

Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme”. Maknanya adalah dalam menjalankan politik luar negeri (internasionalisme), Indonesia haruslah senantiasa berpijak pada kekuatan sendiri atau berdikari untuk kepentingan nasional (nasionalisme).

Namun demikian, tatkala memperjuangkan kepentingan nasional (nasionalisme), Indonesia juga harus menghormati nilai sosial-kemanusiaan dan etika hubungan antar-negara (internasionalisme).

Alhasil, dalam irisan ideologis ini terdapat nilai nasionalisme (kepentingan nasional) berdimensi sosial (memberi manfaat sosial). Itulah sejatinya “sosio-nasionalisme”.

Konsep sosio-nasionalisme ini memberikan landasan ideologis yang kuat bagi negara dalam melaksanakan diplomasi dan kebijakan luar negeri. Tidak ada negara di dunia ini yang bisa hidup sendiri, sebab seperti kata penyair Inggris, John Donne, “no man is an island”.  Manusia tidak bisa hidup sendiri.

Begitu juga negara. Dalam pergaulan internasional, kerjasama antar-negara adalah keniscayaan. Berakhirnya Perang Dingin pada awal 1990-an telah menghilangkan sekat ideologis. Pertimbangan membangun kerjasama antar-negara lebih realistis-pragmatis.

Perbedaan ideologi terdorong ke belakang. Kepentingan geo-politik dan ekonomi yang dikedepankan. Inilah kiranya yang menjadi latar-belakang politik mengapa dua negara Islam, Iran dan Arab Saudi, bersedia dimediasi oleh China yang sosialis-komunis. 

Dari persitiwa bersejarah ini – rujuk diplomatik Iran dan Arab Saudi yang dimediasi oleh China – konsep sosio-nasionalisme Bung Karno menemukan relevansinya. Motivasi ketiga negara (Iran, Arab Saudi dan China) yang mengedepankan perdamaian dengan menyingkirkan perbedaan ideologi senafas dengan nilai sosio-nasionalisme Bung Karno.

Ketiga negara itu tentu mengutamakan kepentingan nasionalnya (nasionalisme) ketika mengupayakan perdamaian. Tetapi pada saat yang sama bisa dipastikan ikhtiar mereka dapat memberi manfaat sosial-kemanusiaan (internasionalisme) bagi rakyat di kawasan Timur Tengah yang dilanda konflik berkepanjangan.  

(Darmansjah Djumala adalah Dewan Pakar BPIP Bidang Strategi Hubungan Luar Negeri, Dosen Hubungan Internasional, FISIP Unpad).

Komentar