Rujuk Diplomatik Iran-Arab Saudi Dan Sosio-Nasionalisme Bung Karno

Yang pertama menyeruak dari benak pengamat: betapa perbedaan ideologi tidak lagi menjadi hambatan bagi negara untuk bekerja sama. Bahkan untuk menjadi mediator dua negara yang sedang berseteru sekalipun.

Itulah realitas politik global pasca Perang Dingin. Dunia tak lagi pusing dengan ideologi dalam membangun kerjasama dan merajut kepentingan bersama.

Sepertinya begitulah realitas politik yang dihadapi dunia saat ini: kerjasama antar-negara dibangun atas kepentingan bersama (politik dan ekonomi), bukan kesamaan ideologi.

Barangkali pemahaman atas realitas politik global seperti ini yang bisa menjelaskan mengapa Iran dan Saudi Arabia yang berideologi Islam mau dimediasi oleh China yang sosialis-komunis. 

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional tentu tak bisa menegasikan kerjasama internasional. Pegiat diplomasi nyaris sepakat, dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri semua negara pasti mengedepankan kepentingan nasional.

Tatkala kepentingan nasional dikerek tinggi dalam diplomasi, nasionalisme lah yang menjadi pedoman. Menjadi pertanyaan, nasionalisme yang bagaimana yang dipedomani Indonesia? Dalam konteks hubungan internasional, jauh-jauh hari Bung Karno sudah merumuskan nasionalisme Indonesia dalam artikelnya yang ditulus pada 1932, yaitu “sosio-nasionalisme” (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, 2015).

Sosio-nasionalisme Indonesia adalah semangat cinta tanah air yang diartikulasikan dalam dimensi sosial-kemanusiaan. Artinya, meski kita mencintai tanah air sendiri, kita mesti menghormati pakem-pakem pergaulan internasional.

Tatkala menghargai tata pergaulan internasional, itu berarti nasionalisme kita juga mengindahkan kaidah-kaidah internasionalisme. Pada titik ini terdapat irisian ideologis antara nasionalisme dan internasionalisme.

Komentar