Mencari Solusi dari Rakor 23 Kepala DPK se Indonesia: Ternyata Pejabat Pusat Belum Mewarisi Jiwa Pelaut

Melihat alur dan kewenangan, UU Cipta Kerja yang merangkum beberapa UU adalah bersifat lex generalis (aturan khusus yang bermakna general atau umum). Sedangkan UU Pemerintahan Daerah adalah lex specialis (khusus mengatur Pemda dengan segala tanggung jawab hukum). Semestinya UU Pemda bisa mengesampingkan UU Cipta Kerja.

Untuk kepastian hukum, Aan Eko usul perlu diajukan yudicial review (pengujian) terhadap UU Cipta Kerja terhadap materi yang bertentangan dengan UUD ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pandangan lebih tegas disampaikan pakar kelautan ITS Daniel A Rosyid, yaitu harus ada semacam lokalisasi aturan. Karena aturan tunggal yang sentralistik pasti akan gagal dan berpotensi menimbulkan kegaduhan.

UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertendensi sentralistik. UU ini cenderung melakukan liberalisasi pengelolaan tata ruang laut.

Mantan Dirjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Widi A Pratikto menyoroti penataan ruang pesisir dan laut. Menurutnya, perlu prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu. Dia juga menyoroti sampah laut atau marine debrise yang kian hari menjadi ancaman. Dampaknya pada ekonomi, pariwisata, kerusakan habitat, kerusakan kapal dan navigasi, serta kehidupan lingkungan maritim secara keseluruhan.

Sedang Abu Bakar Sambah mengurai, sulitnya mengukur secara nyata laut dengan isinya bila dibandingkan dengan daratan dengan batas-batas yang jelas, semisal patok, tembok, dan tanda permanen. Apalagi, laut hanya memiliki batas-batas yang bersifat maya. Demikian pula dengan mengukur potensi apa saja yang ada di dalam laut.

Usai tanya jawab dengan pemaparan narasumber yang memberikan semacam advokasi, untuk lebih Flamboyan dalam mensikapi disharmoni secara elegan dan melalui lobi yang komprehensif.

Memang ada sedikit modal dari Rakor yaitu penandatanganan kesepakatan bersama para Kadis atau perwakilannya agar pengelolaan laut dan pesisir sesuai dengan rel aturan yang berlaku.

Tentu muncul pertanyaan normatif, bagaimana bisa berjuang maksimal atau harus berdarah-darah kalau pasal-pasal yang dicantumkan dalam UU bagian dari negoisasi, pesanan dan konstruksi liberisasi.

Jujur, penulis selaku direktur LBH Maritim beberapa kali menangani persoalan hukum terkait nasib nelayan yang sulit mencari nafkah di laut karena tiada areal dan kawasan fishing (mencari ikan) yang bisa memberikan kemanfaatan bagi nelayan sebagai generasi pelaut.

Belum masalah perizinan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan laut yang ternyata tidak berpihak kepada ekosistem laut dan maritim.

Bisa dibayangkan ke depan, ketika Indonesia sebagai negara khatulistiwa dan permadani hijau dunia dengan keanekaragaman marga satwa, termasuk laut didalamnya dikuasai oleh investor, pengusaha dan penguasa yang bermental bajak laut.

Sekali lagi, karena mereka sama sekali tidak merasa sebagai penerus nenek moyang pelaut, sehingga tidak memiliki dan hasrat untuk menyelamatkan laut dan sumber daya alam nya.

Pertanyaan mendasar bagaimana terhadap pengelolaan kelautan di daerah, dengan memahami terdapat empat tipe/rezim kepemilikan SDA, yakni State property regimes, Public property regimes, Private property regimes, Common property regimes (oppen acces).

Disinilah pemegang kebijakan dan kepemilikan atau penguasaan sumber daya ini turut menentukan bagaimana cara pengelolaannya dilakukan, sehingga pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat & Daerah tidak tumpang tindih, memperhatikan juga hak-hak masyarakat adat khususnya hak ulayat laut (sea tenure) yang diakui secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, terutama dlm pengaturan pengelolaanya yg saat ini mendapatkan pengaturannya dalam Pasal 29 ayat (5) UU
No.23/2014.

Pada akhirnya, kita harus mampu mengidentifikasi masalah, antara lain, penyelenggaraan pembagian kewenangan Pusat & Daerah dalam Pengelolaan Laut, dinamika kewenangan Daerah yang diberikan predikat sebagai daerah khusus dibandingkan dengan kewenangan daerah- lainnya dalam Pengelolaan Laut.

Tidak kalah penting, pola hubungan dan pembagian kewenangan Pengelolaan Keuangan Pusat
dan Daerah dalam Pengelolaan Laut sehingga ada kepastian pola pembagian kewenangan yang tepat antara Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai Nilai Pancasila dan Perjanjian Internasional. Semoga bermanfaat.

Komentar