Optimasi Rasio Pajak: Tantangan Besar Bagi Gibran!

JurnalPatroliNews – Jakarta – Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pasangan nomor urut 2 dalam Pemilihan Umum mendatang, menetapkan target ambisius untuk meningkatkan rasio perpajakan Indonesia menjadi 23% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun, para analis pajak meragukan kelayakan target ini, terutama mengingat sebagian besar pekerja Indonesia masih berpendapatan rendah.

Fajry Akbar, seorang pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis, menyatakan bahwa sementara strategi ekstensifikasi bisa dilakukan, hal tersebut tidak akan secara signifikan meningkatkan rasio perpajakan jika sebagian besar penduduk masih berada dalam golongan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

“Strategi ekstensifikasi baik dan tepat. Tapi tidak akan mengerek tax ratio kita secara signifikan kalau sebagian besar penduduk kita masih berpendapatan rendah,” ungkap Fajry.

Menurutnya, data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa sebagian besar angkatan kerja di Indonesia masih berpendapatan di bawah Rp 54 juta per tahun, masuk dalam golongan PTKP. Dari 147 juta angkatan kerja, hanya 13,8 juta yang wajib melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), menunjukkan bahwa hanya 8,84% dari angkatan kerja yang berpendapatan di atas PTKP.

Gibran menanggapi skeptisisme tersebut dengan menegaskan bahwa mereka tidak akan mengandalkan strategi lama.

“Kita ini tidak ingin berburu di dalam kebun binatang. Kita ingin memperluas kebun binatangnya, kita tanami binatangnya, kita gemukkan,” ujar Gibran. Dia berencana untuk memperluas dunia usaha guna meningkatkan jumlah Wajib Pajak.

Meskipun demikian, beberapa ahli ekonomi mempertanyakan kelayakan target tersebut. Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic, menyatakan bahwa target rasio perpajakan yang dipasang Prabowo-Gibran hampir tidak mungkin dicapai dalam masa kekuasaan 5 tahun. Ia khawatir upaya paksaan dapat mengganggu dunia usaha.

“Penting untuk hati-hati menetapkan target yang tinggi, bukan berarti tidak bagus, tapi apakah itu realistis dan efek sampingnya dapat merugikan perekonomian dan pelaku usaha,” ungkap Faisal.

Sementara itu, Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, mengemukakan bahwa peningkatan rasio perpajakan sebenarnya bisa dilakukan dengan menambah komponen penerimaan pajak.

Namun, ia menekankan bahwa mengutak-atik rumus perpajakan tidak sama dengan meningkatkan penerimaan negara secara keseluruhan.

“Kalau ngomong soal rasio, kita pakai rumus yang mana,” tandasnya.

Komentar