Mengayuh Sepeda, Mendorong Transisi Energi Yang Adil Gender

Tidak hanya merendam lahan pertanian produktif warga yang menyebabkan gagal panen, pembangunan pembangkit listrik tersebut telah menghilangkan spesies ikan, yang akhirnya juga menghilangkan  tradisi menangkap ikan di tepi danau yang disebut Monyilo, Mayamasapi, Mosango, di mana perempuanlah yang biasanya melakukan tradisi tersebut.

Begitu pun dengan proyek geothermal di Purwokerto yang mengakibatkan air sumber kehidupan warga menjadi keruh.

Dalam kasus di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, akibat perluasan pertambangan nikel untuk ekosistem kendaraan listrik, limbah pertambangan nikel yang berakhir di pesisir atau laut menyebabkan kerusakan terumbu karang yang terus meluas dan menurunkan pendapatan harian mereka hingga lebih dari 50%. Hal ini menyebabkan beban perempuan nelayan menjadi lebih berat karena harus bekerja lebih lama supaya perekonomian keluarga dapat terus berjalan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, setelah kehidupan ekonomi semakin sulit, mereka harus bekerja lebih dari 17 jam per hari. Sebelum adanya tambang, mereka tak lebih dari 10 jam bekerja sebagai perempuan nelayan.  

Tidak hanya proyek-proyek tersebut di atas, proyek energi skala besar marak digalakan oleh pemerintah. Walhi mencatat bahwa pada tahun 2020 saja, terdapat lebih dari 10,000 megawatt pembangkit listrik yang terpasang dan diklaim sebagai energi terbarukan oleh pemerintah.

Pada tahun 2025, pemerintah menargetkan pengembangan energi baru dan terbarukan sebesar 39,94 gigawatt (GW) pada 2030.

Transisi energi untuk keluar dari bahan bakar fosil tentu sangat penting sebagai cara untuk mengatasi krisis iklim. Namun, tanpa adanya pertimbangan dan persetujuan warga, termasuk perempuan dan kelompok minoritas lainnya, proyek pengembangan energi baru terbarukan yang dijalankan pemerintah hanya akan menjadi solusi palsu.

Bukan solusi iklim, ketika proyek yang dijalankan justru menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat.

Transisi energi mensyaratkan perubahan sistem, sehingga tidak sekadar mengubah batubara menjadi panas bumi, air, dan lain sebagainya, tetapi perlu mentransformasikan pembangunan energi dari yang sebelumnya berorientasi pada pasar menjadi berorientasi pada komunitas, dengan memastikan akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat bagi perempuan. 

Mengayuh, adalah cara untuk menghasilkan energi yang menggerakkan sepeda atau kendaraan kayuh lainnya. Aksi ini menjadi simbol bahwa selama ini perempuan, terutama perempuan akar rumput bersama komunitasnya telah menghasilkan berbagai inisiatif untuk mengatasi krisis iklim dan menjaga keberlanjutan lingkungan.

Melalui aksi ini kami mendesak pemerintah untuk melakukan upaya terbaik dalam mengatasi krisis iklim, tidak dengan solusi palsu, tidak dengan menjadikan krisis iklim sebagai lahan investasi proyek energi, melainkan dengan menghentikan bahan bakar fosil dan mengembangkan inisiatif berbasis masyarakat lokal dan komunitas.

Komentar