Hari HAM: Quo Vadis Tanggung Jawab Negara atas Perlindungan Hak dan Seksualitas Perempuan

“Negara tidak membuat satu kebijakan afirmasi yang cukup powerful untuk memastikan bahwa perempuan itu bisa terlibat di dalam proses-proses pengambilan keputusan. Ketentuan tentang 30% kuota perempuan di parlemen pun juga tidak efektif,” jelas Era Purnama Sari, YLBHI.

Sejalan, Tanti Herida dari Koalisi Perempuan Indonesia mengungkapkan, “semakin lama semakin turun angka perempuan di legislatif, kalaupun ada perempuan yang duduk itu bukan dia sebagai organisatoris, karena political will partai politik untuk melibatkan perempuan sebagai organisatoris itu setengah hati. Gerakan perempuan ditantang untuk bisa mendobrak budaya politik parta yang elitis dan sentralistik serta mengubah budaya politik agar memberi ruang yang lebih besar pada kader politik perempuan.

Masih menurut Tanty, “ideologi patriarki tersosialisasi dalam masyarakat karena mendapat legitimasi dalam beberapa aspek kehidupan, baik agama, kepercayaan, maupun beragama.Seksualitas perempuan dipermasalahkan dan dibatasi baik dalam konstruksi yang dilanggengkan dalam masyarakat, ditambah dengan latar belakang budaya yang menoleransi kekerasan terhadap perempuan dan konstruksi sosial yang melanggengkan objektifikasi perempuan sehingga menimbulkan rasa kepemilikan pelaku terhadap korbannya. Sehingga, budaya dan konstruksi sosial itulah yang perlu dibongkar dan diubah, dan menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhi, melindungi dan menghormati hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

“Kesalahan negara adalah tidak menghasilkan kebijakan yang dibutuhkan perempuan, justru menghasilkan kebijakan yang bersifat diskriminatif, serta tidak adanya respon terhadap menguatnya fundamentalisme yang menyasar akar persoalan. Fundamentalisme sebagai paham/pemikiran, tidak bisa dihilangkan hanya dengan pembubaran kelompok fundamentalis. Sementara pembubaran diskusi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas dibiarkan. Kita perlu melihat, apakah alasan dibaliknya sungguh-sungguh untuk menjaga keberagaman, atau meniadakan kelompok dianggap oposisi, seiring dengan kriminalisasi aktivis dan tindakan represif negara lainnya,” tegas Dinda.

Dinda menutup dengan ungkapan bahwa, “Hak asasi manusia diakui di konstitusi, jangan sampai HAM itu hanya gimmick yang diperingati setiap tahunnya namun tidak ada langkah-langkah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang sudah terjadi dan langkah membangun sistem, kebijakan dan pembangunan yang berorientasi hak asasi manusia.”

Komentar