Wow! Bukan Lagi Nuklir, Kini Jepang Bakal Garap Hidrogen Cair

JurnalpatroliNews – Jakarta, Target baru Jepang untuk mencapai nol karbon pada 2050 membuat publik menyoroti bagaimana upaya pemerintah negeri sakura itu untuk menemukan opsi bahan bakar baru yang lebih hijau, termasuk pengembangan hidrogen cair yang dianggap ambisius namun kontroversial.

Rantai Pasokan Energi Hidrogen (The Hydrogen Energy Supply Chain/ HESC) adalah proyek bersama Jepang-Australia untuk menghasilkan bahan bakar yang berlimpah dan terjangkau bagi Jepang.

Dikutip dari AFP, Senin (02/11/2020), berikut beberapa pertanyaan dan jawaban tentang usaha Jepang mengembangkan proyek hidrogen tersebut:

Mengapa hidrogen?
Jepang memiliki sedikit sumber daya bahan bakar fosil, dan sangat bergantung pada gas alam cair (LNG) yang diimpor, batu bara, dan tenaga nuklir, yang telah dibatasi sejak bencana Fukushima.

Negara pegunungan yang rawan bencana alam ini sedang berjuang untuk meningkatkan produksi energi terbarukannya, dan karena itu sedang menyelidiki berbagai alternatif bahan bakar.

Jepang telah berinvestasi besar-besaran dalam proyek hidrogen yang hanya menghasilkan uap dan tidak ada karbondioksida saat dibakar, menjadikannya sebagai pusat perhatian publik.

Jepang saat ini memproduksi hidrogen di dalam negeri, dalam bentuk cair dan gas terkompresi, kebanyakan dari gas alam dan minyak.

Negeri sakura ini menggunakan hidrogen dalam sel bahan bakar mikro untuk bangunan tempat tinggal, pembangkit listrik eksperimental, dan kendaraan sel bahan bakar, tetapi sayangnya produksi dalam negeri masih terbatas dan mahal.

Apa itu HESC?
Rantai Pasokan Energi Hidrogen (HESC) adalah sebuah eksperimen untuk melihat apakah Jepang dapat membangun pasokan hidrogen cair yang tahan lama dari Australia, untuk dibakar guna menghasilkan listrik.

Hidrogen akan diproduksi dan dicairkan di negara bagian Victoria, Australia, di mana ia akan diekstraksi dari sejenis batubara yang dikenal sebagai lignit.

Batu bara coklat (brown coal) saat ini secara efektif tidak memiliki pasar, menjadikannya alternatif yang berpotensi menarik dan lebih murah untuk memproduksi hidrogen dalam negeri untuk Jepang, terlepas dari biaya tambahan untuk membawanya sejauh 9.000 kilometer (5.600 mil) melalui laut.

Fase percontohan proyek, yang sebagian didanai oleh otoritas Jepang dan Australia, telah menerima investasi sekitar 500 juta dolar Australia (atau sekitar US$ 350 juta).

Bagaimana cara kerjanya?
Mulai tahun depan, sebuah lokasi di pulau buatan dekat Kobe di Jepang barat akan menjadi terminal percontohan (pilot) untuk kapal pertama di dunia yang dirancang untuk mengangkut hidrogen cair, kapal buatan Jepang yang disebut Suiso Frontier.

Untuk saat ini, tangki bulat berdiameter 19 meter (60 kaki) di lokasi tersebut digunakan untuk menyimpan hidrogen cair yang diproduksi di dalam negeri.

Jika pengujian berhasil pada 2022 atau 2023, maka proyek tersebut akan diperpanjang dan akan memasuki fase komersial setelah 2030. Sebuah terminal baru di Jepang akan dibangun, bersama dengan kapal-kapal yang lebih besar.

Tetapi prosesnya rumit karena untuk diangkut melalui laut sebagai cairan, hidrogen perlu didinginkan hingga -253 derajat Celcius (-423,4 derajat Fahrenheit). Ini merupakan proses mahal yang menggunakan banyak energi.

Apakah hidrogen benar-benar energi hijau?
Kredensial hidrogen hijau sangat bergantung pada bagaimana ia diproduksi. Hidrogen hijau dapat diproduksi dengan elektrolisis air, menggunakan listrik yang diperoleh melalui energi terbarukan.

Tetapi setiap ton hidrogen yang dihasilkan dari batu bara mengeluarkan 20 ton karbondioksida, lebih dari dua kali lipat emisi CO2 yang dihasilkan ketika hidrogen dihasilkan dari gas alam.

Membandingkan emisi dari produksi hidrogen dengan emisi dari pembakaran batu bara itu rumit, kata para ahli, tetapi mereka setuju bahwa itu tidak akan dianggap ramah lingkungan kecuali diproduksi secara terbarukan.

Pendukung HESC bersikeras bahwa itu dapat layak secara lingkungan – jika tidak dapat diperbarui – melalui program penangkapan karbon.

Salah satu inisiatif Australia yang disebut sebagai CarbonNet, akan melihat CO2 yang ditangkap terkubur di bawah dasar laut dekat Victoria.

Untuk pendukung HESC seperti Motohiko Nishimura dari Kawasaki Heavy Industries, tenggat waktu bebas karbon Jepang pada 2050 “akan memberikan dampak positif yang besar” pada proyek tersebut.

Tapi tidak semua orang di industri Jepang yakin, termasuk Shigeru Muraki, seorang eksekutif di Tokyo Gas, yang lebih menyukai investasi dalam bahan bakar amonia.

“Bahkan dengan metode penangkapan dan penyimpanan karbon, itu tidak dapat dianggap sebagai hidrogen hijau,” katanya, mengacu pada proyek HESC.

Dia melihat hidrogen hijau yang diproduksi dari sumber terbarukan harganya cenderung menjadi kompetitif seiring berjalannya waktu.

Dan pemerhati lingkungan seperti Nicholas Aberle, dari kelompok kampanye Environment Victoria, sangat skeptis.

Mereka takut “situasi di mana batu bara dikonversikan ke hidrogen hanya dapat dibuat komersial tanpa (penangkapan karbon), dan kita dapat melihat perusahaan yang rakus mencoba untuk terus maju meskipun ada dampak iklim,” katanya kepada AFP.

Produksi hidrogen skala komersial dari batu bara tanpa penangkapan karbon akan menjadi “vandalisme iklim”, katanya.

(cnbc)

Komentar