Ferdinand Montororing: Delik Penodaan Agama Atau Blasphemy Seenaknya Dibuat Melar

JurnalPatroliNews – Jakarta – Pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 semakin marak figur publik yang salah bicara langsung dituding menista agama tertentu, hal ini terjadi pada Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok adalah tokoh pertama yang terseret kasus penodaan agama Islam.

Menyikapi fenomena tersebut tim JurnalPatroliNews mewawancarai advokat senior Ferdinand Montororing yang juga ahli hukum pidana pada Universitas Mpu Tantular di kantornya kamis (24/02). Ada memang penceramah agama yang cukup dikenal seperti Saifuddin Ibrahim yang awalnya seorang ustad dan pendidik pada sebuah Pesantren ternama di Indramayu kemudian berpindah agama ke Kristen dan dalam dakwah-dakwahnya dianggap telah menodai agama Islam, Saifuddin kemudian dipidana penjara selama empat tahun oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Sementara Ahok dipidana penjara dia tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Sementara ustad Yahya Waloni yang ceramah-ceramahnya dianggap menista agama Kristen juga dijerat pudana lima bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsidair satu bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kini sedang menjadi sorotan adalah Menteri Agama Gus Yaqut akibat menanggapi surat edaran yang ditekennya soal suara “toa” mesjid agar terukur, Yaqut mengumpamakan atau memberi contoh, suatu lingkungan non muslim yang beberapa diantaranya memelihara anjing, apabila semua anjing menggonggong maka bisa dibayangkan betapa riuhnya.

Ferdinand menyoroti apa yang menimpa Menteri Agama Gus Yaqut tersebut, kemudian dipelintir oleh beberapa kelompok di masyarakat bahwa Gus Yaqut membandingkan suara azan dengan suara anjing, karuan saja timbul kehebohan akibat pelintiran itu, kata Ferdinand.

Dalam aspek tindak pidana menurut Ferdinand yang secara spesifik mengatur delik penodaan agama itu diatur dalam pasal tambahan di KUHP yakni pasal 156a yang dibentuk melalui UU No. 1/PNPS/1965.

Sisipan pasal 156a pada pasal 156 KUHP adalah suatu bentuk merumuskan suatu normal hukum baru sebagai perbuatan pidana yang disebut delik penodaan agama atau blasphemy.

Seharusnya rumusan norma blasphemy ini sudah cukup jelas unsur-unsurnya dalam pasal 156a dimana unsur pokoknya atau atau bestandeel delict terumuskan dalan KUHP pasal 156a huruf (a) dan huruf (b).

Rumusan norma yang bersifat bestandeel tidak boleh ditafsirkan secara luas sebebas-bebasnya itu akan menimbulkan ketidak pastian hukum, “hukum pidana itu sangat sakelijk atau kaku tak bisa dibuat melar seperti karet.

Apa yang diucapkan Gus Yaqut gak bisa lalu seenaknya disebut suatu penodaan agama, hanya karena ketidak sukaan pada pemerintah lalu Gus Yaqut batuk-batukpun yang disalahkan Presiden Jokowi,  ini yang secara sosiologis adalah masyarakat yang sedang sakit, sakit sosial, pungkas Ferdinand.

Kalo hukum kita mau dibuat seperti buat bakmi yang bisa ditarik-tarik melar, ya rusak negara ini. “Para penegak hukum harus taat asas hukum jangan plintat plintut sesuka udelnya” pungkas Ferdinand menutup wawancara dengan Nur Rachmawati.

Komentar