Tragis! Setelah PM Rajapaksa Mundur di Tengah Krisis, Sri Lanka Bergejolak, Nasib WNI Kesulitan Sembako

Kondisi ini membuat berang sebagian masyarakat mengingat kebutuhan hidup sehari-hari tak lagi terjangkau.

Pemerintah menyalahkan pandemi Covid yang mematikan sektor pariwisata. Namun, sejumlah pakar menilai pemerintah salah kelola ekonomi.

Para pengunjuk rasa berkumpul di luar kantor kepresidenan guna menuntut Rajapaksa lengser.

WNI merasakan dampak krisis di Sri Lanka

Dua warga negara Indonesia yang tinggal di Sri Lanka mengatakan krisis di negara itu sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Ni Putu Eka Yuli Suswantari yang bekerja sebagai terapis spa di ibu kota Colombo mengatakan yang sangat ia rasakan adalah tingginya biaya hidup dan sulitnya pengiriman uang ke Indonesia dengan nilai mata uang yang anjlok.

“Krisis yang terjadi sangat mempengaruhi semua. Semua serba mahal, jadinya kita dapat gaji sekian, dan bekal hidup sekian, semua dihemat,” kata Yuli, dilansir BBC News.

Ni Putu Yuli, terapis spa Indonesia di Sri Lanka
Terapis spa yang sudah bekerja di Sri Lanka selama tiga tahun ini mencontohkan uang yang biasa ia kirim sekitar 140.000 rupee dan biasanya bernilai sekitar Rp6 juta sampai Rp7 juta, “sekarang sampai di Bali, di bawah Rp5 juta”.

WNI lain, Dita Kleyn yang tinggal di Kandy, mengatakan sering mendengar kesulitan rekan-rekan lain yang bekerja di spa.

“Yang mendapat gaji rupee, banyak teman-teman Indonesia yang kerja sebagai terapis spa sangat terdampak sekali untuk pengiriman duit ke Indonesia karena mata uangnya jatuh.”
Dita tinggal selama 12 tahun di Sri Lanka dan suaminya, seorang warga setempat, bekerja di luar negeri.

Namun ia mengatakan juga “sangat terdampak krisis” yang terjadi sejak Maret lalu.

“Kita susah sekali cari sembako, BBM, gas elpiji (untuk masak). Untuk BBM, kita tunggu berjam-jam, dan itupun dijatah. Ada yang antre semalaman,” cerita Dita kepada rekan media dilansir bbc.

“Sembako ada yang harganya naik empat kali lipat. Belum tarif dasar listrik, akan mengalami kenaikan 100%, yang saya dengar,” tambahnya lagi.
Baik Yuli di Colombo dan Dita di Kandy, yang berjarak sekitar tiga jam berkendara dari ibu kota, sama-sama merasakan pemadaman listrik.

“Bisa sampai empat sampai lima jam sehari. Kita juga pernah mengalami mati listrik sampai 13 jam sehari. Sangat mengganggu sekali untuk kegiatan sehari-hari. Saya sebagai WNI, kami saja sudah sangat kelimpungan, terbebani, apalagi masyarakat lokal,” cerita Dita. Ia biasa menyediakan katering masakan Indonesia bagi yang memesan.

Menurut KBRI di Kolombo, pekerja migran Indonesia di Sri Lanka berjumlah kurang dari 200 orang dan sebagian besar bekerja sebagai spa terapis di ibu kota Kolombo.

Komentar