Silaturahmi Kebangsaan DPD RI Soal Inpres No 2/2023 Hasilkan 8 Rekomendasi

Dalam paparannya, Nono Sampono menyoroti 12 rekomendasi pelanggaran HAM Berat yang ditetapkan oleh TPP-HAM, utamanya terkait rekomendasi pertama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM Berat yang terjadi pada tahun 1965/1966.

“Dari 12 pelanggaran HAM Berat yang disebutkan, saya ingin menyoroti nomor 1. Meski tak ditulis, tapi kita tahu maksudnya, itu kasus 1965/1966 atau G30S/PKI,” kata Nono dalam paparannya di Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/5/2023).

Menurut Nono, untuk 11 kasus pelanggaran HAM lainnya ia tak mempermasalahkan. Namun jika dinyatakan telah terjadi pelanggaran HAM Berat yang dilakukan oleh negara dengan korban PKI pada tahun 1965/1966, tentu menjadi persoalan.

Kalau kita urai sejarah perjalanan PKI mulai didirikan pada tahun 1917, PKI telah tiga kali melakukan gerakan kudeta berdarah. “Pertama itu terjadi pada tahun 1926 lalu pemberontakan Madiun 1948 dan terakhir G30S/PKI tahun 1965/1966,” ujar Nono.

Menurut Nono, kuatnya PKI di Indonesia, utamanya usai menjadi pemenang keempat Pemilu 1955, yakni sejak diberlakukannya jargon Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) oleh Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

“Meski sudah dilarang melalui TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, namun jika ditanya apakah PKI masih ada saat ini, menurut saya masih ada,” tutur Nono.

Dikatakan Nono, komunisme wajah baru memiliki beberapa ciri yang harus diperhatikan dengan seksama. Di antaranya menempel pada kekuasaan, pandai membersihkan diri, menggunakan politik adu domba dan meminta kepada pihak lain meminta maaf dan mengganti rugi kepadanya. “Nah, ini yang terjadi sekarang. PKI telah bergerak mendorong pihak lain untuk meminta maaf dan memberikan kompensasi melalui Inpres ini,” kata Nono.

Mantan KSAD Agustadi Sasongko Purnomo dalam paparannya menjelaskan, Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tersebut multi tafsir. “Peristiwa pelanggaran HAM Berat terjadi pada rentang waktu 1945-2020. Korban itu siapa, apakah dari PKI atau Non PKI? Begitu juga dengan pelaku, apakah PKI atau Non PKI?” tanya Agustadi Sasongko.

Dikatakannya, dalam proses pembahasan pelanggaran HAM berat, Agustadi Sasongko menyarankan hendaknya mengkaji kembali secara adil dan seimbang, baik dalam penentuan pelaku maupun korban kedua belah pihak, serta dalam penentuan pemulihan hak korban yang akan menerima santunan atau kompensasi.

Ia juga menyarankan agar dalam proses pembahasan pelanggaran HAM berat hendaknya melibatkan personel yang profesional dalam bidangnya seperti hukum, sejarah, forensik, Saksi-saksi peristiwa dari kedua belah pihak dan para akademisi.

“Membentuk Tim Pemantau dan Pengawas Independen pelaksanaan rekomendasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yang personelnya terdiri dari unsur pemerintah, TNI/Polri, masyarakat, akademisi dan Komnas HAM, guna memantau dan mengawasi tentang perencanaan, penentuan dan pelaksanaan penyerahan santunan/ kompensasi bagi korban dari kedua belah pihak,” ujarnya.

Sedangkan Guru Besar Ilmu Filsafat Prof Kaelan menambahkan bahwa kita harus meletakkan kembali Pancasila sebagai dasar negara dalam memilih pemimpin bangsa.

“Sesungguhnya Inpres ini luar biasa menyadari bagaimana situasi kebangsaan Indonesia. Satu hal dimensi yang harus kita lihat bahwa, nampaknya fokus penyelesaian pada kasus yang terjadi tahun 1965/1966,” ujarnya.

Komentar