Kepemimpinan Yang Memanusiakan Manusia

Jika kita melihat sisi kepemimpinan dari perspektif kearifan local Nusantara, Indonesia sangat kaya akan sumber kepemimpinan tersebut.

Kota Makassar mempunyai beberapa kearifan lokal, misalnya; Sipakatau artinya saling memanusiakan manusia, Sipakalebbi artinya saling memuliakan, Sipakainga’, artinya saling mengingatkan. Hal tersebut harus tetap dipelihara dan disosialisasikan sehingga menjadi perekat bagi terciptanya serta terpeliharanya kerukunan umat beragama.

Masyarakat Sulawesi Utara punya nilai “Si Tou Timou Tumou Tou” yang berarti “Manusia, Memanusiakan Manusia.” Mereka menerjemahkan kearifan lokal itu jadi kerja-kerja nyata berprinsip melayani, bersih, tertib, mandiri, dan bersatu. penelitian ini menemukan bahwa nilai budaya/kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara: Si Tou Timou Tumou Tou (Manusia Hidup untuk Memanusiakan Orang Lain), Mapalus (Gotong-royong) dan Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara) mampu membuat masyarakat Sulawesi Utara hidup dalam suasana penuh toleransi, sehingga bisa diadopsi dan dikembangkan menjadi model pendidikan toleransi. Ketiga nilai budaya ini terimplementasi secara konkrit dalam kehidupan konkrit masyarakat yang tidak membeda-bedakan asal-usul suku, agama, etnis dari masyarakat.

Seperti di Jawa Barat kita mengenal prinsip Silih Asih Silih Asah Silih Asuh yang memiliki makna Saling menyayangi, saling mengasah, dan saling membimbing akan sangat berarti bila dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Terlebih bila keadaan masyarakat yang mayoritas labil seperti hari ini, maka dengan silih asih, silih asah, silih asuh akan membentuk masyarakat kembali pada kualitas yang telah hilang karena peralihan zaman.

Pemimpin yang manusiawi dan melayani juga tercermin dari nasihat Ki Hajar Dewantoro, yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Keteladanan sangat diperlukan dalam hal ini, sehingga pihak yang dipimpin memperoleh contoh-contoh yang baik dan merasa dimanusiakan. Memanusiakan manusia menjadi kata kunci dalam kepemimpinan yang melayani.

Sunan Gunung Jati dalam petatah petitihnya pun berpesan agar Den Welas Asih Ing Sapapada, yang maknanya adalah kita harus memiliki sikap welas asih terhadap sesame manusia… tentu saja seorang pemimpin yang baik harus memiliki sikap welas asih yang tulus dan iklas terhadap manusia-manusia yang dipimpinnya…

Pemimpin Indonesia, sudah selayaknya memahami ilmu kepemimpinan yang berasal dari sumber local, paling tidak memahami kearifan local daerahnya sendiri, atau memahami karakter masyarakat yang dipimpinnya, serta mengelola manusia berdasarkan karakteristik kelokalannya. Menjadi pemimpin di tingkat Nasional,sudah seharusnya menguasai karakteristik manusia Nusantara secara menyeluruh, agar setiap keputusan dan kebijakan yang dibuatnya, membuat masyarrakat merasa nyaman dan aman.

Pahami kearifan local kita, karena kita semua bersaudara dan kita berada di tanah dan air yang sama.

Oleh Rully Rahadian, Pemerhati Budaya dan Teknologi

Komentar