Pertambangan, KEK & Massif-Nya Konflik Agraria Di Sulawesi-Utara

JurnalPatroliNews – Sulawesi Utara – merupakan salah satu provinsi yang terletak di bagian utara Indonesia yang berbatasan dengan Filipina, memiliki luas wilayah 14.544,36 Km2 dan jumlah penduduk sebanyak 2.319.916 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,15%/Tahun.

Sulut memiliki total luas lahan 1.463.056 hektar (ha), pada tahun 2012 luas tersebut terdiri atas lahan sawah 60.037 ha (4,10%), lahan pertanian bukan sawah 800.473 ha (54,71%) dan lahan bukan pertanian 602.546 ha (41,19%).

517.825 Hektar memiliki deposit emas, biji besi, pasir besi, batu gampang, dan pasir kuarsa yang tersebar di 11 Kabupaten/kota dari total 15 Kabupaten/kota yang ada.

Bangunan rumah tinggal wilayah ini mayoritas adalah milik sendiri sebanyak 77,27%. Kabupaten/kota dengan kepemilikan pribadi tertinggi adalah di Boolang Mongondow Selatan sebesar 92,45%.

Sedangkan wilayah dengan kepemilikan milik pribadi paling sedikit adalah di Kota Manado sebesar 54,73%. Selain milik pribadi, sebanyak 22,73% bangunan rumah tinggal yang dihuni masyarakat Sulawesi Utara adalah berupa sewa hingga menumpang di keluarga lain.

Konflik Agraria di Sulawesi-Utara meningkat sejak Pemerintah menetapkan Percepatan program pembangunan Nasional disektor Infrastruktur jalan Tol. Contoh kasus konflik Mata Air Ujang Bitung yang masuk dalam areal pembangunan Tol Manado Bitung, Serta beberapa kasus lainnya.

Percepatan proyek pembangunan Nasional juga berimbas terhadap masyarakat kalasey dua Kabupaten Minahasa, dimana pemerintah secara sepihak menentukan wilayah tersebut sebagai lahan pemerintah tanpa memikirkan nasib masyarakat yang telah puluhan tahun menggarap Tanah tersebut.

Hak Guna Usaha (HGU) juga menjadi salahsatu polemik Agraria di Sulut pasalnya para pemegang HGU dalam kelolanya tidak dijalankan selama puluhan tahun lebih tepatnya tak sesuai dengan UUPA no 5 tahun 1960, sehingga tanah yang tak terkelola tersebut di garap oleh masyarakat guna bercocoktanam.

Namun keberpihakan Pemerintah selalu secara formalitas bahwa tanah tersebut adalah kawasan HGU sehingga kelolannya masih ditangan pemegang HGU. Contoh kasus HGU PT.Malisha di Desa Poigar Bolmong, HGU wilayah Tongkaina Kota Manado.

Konflik lain tercipta akibat masifnnya kawasan pertambangan di Sulawesi-Utara yang tersinyalir akan terus berkembang akibat potensialnya Sulawesi-Utara sebagai kawasan pertambangan.

Konflik kawasan pertambangan memang bukan sesuatu yang baru namun ketidakstabilan Ekonomi akan menjadi pemicu yang serius masifNya kawasan pertambangan di Sulawesi-Utara.

Asumsi ini di dasari karna banyaknya penduduk Sulawesi-Utara yang bertaruh nasib di Rantau guna menjadi pekerja tambang.

Sisi yang lain adalah masifnnya pendudukan lahan oleh para penguasa, tersinyalir ada yang memiliki lahan dengan total 62 bidang tanah dengan luas lahan hampir 100 Hektar.

Hikmah kata dari bung Karno “Tanah adalah milik mereka yang benar-benar menggarap Tanah itu, Tanah bukan milik mereka yang duduk ongkang kaki saja lalu mengambil untung dari keringat mereka yang mengelola tanah itu”.

Keresahan bung karno berdasar pada kolinisasi Belanda di sektor Pertanian pada saat itu, dimana para petani dipaksa bercocok tanam semau Belanda lalu hasil-hasil tersebut diangkut guna keperluan Belanda sendiri.

Seperti tertulis dalam buku Dibawah Bendera Revolusi jilid 1 setelah Belanda mengalami perang dengan Belgia saat itu Belanda membutuhkan pasokan logistik yang besar, sehingga Belanda makin mencekik leher petani Indonesia guna memenuhi kebutuhan Belanda tersebut.

Sedang Tan Malaka berpendapat selain dibawah cekik Belanda kaum Tani juga dibawah cekik kaum tuan tanah hal inilah yang perlu dicipta sebuah revolusi di sektor pertanian agar tanah benar-benar menjadi milik kaum tani.

Namun sukarno berpandangan bahwa Indonesia sejatinya adalah marhaen dengan Ilustrasi Sukarno bertemu dengan bapak-bapak yang sedang mencangkul tanahnya yang penghasilannya hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukanlah seperti petani yang ada di Wilayah Uni Soviet saat itu.

Namun kehidupan Petani ingin diubah oleh bung karno dengan kata “kita haruslah beralih dari cangkir ke mesin” yang artinya saat itu bung karno menginginkan tumbuhannya Industri Pertanian di wilayah Indonesia.

Komentar