Waw..’ Harga Cabe-cabean Naik, Telur Ikut Merangkak di Kisaran Rp 30.000

Jurnalpatrolinews – Jakarta : Harga sejumlah bahan pokok terpantau mengalami kenaikan. Paling mencolok dialami oleh cabai-cabaian, dari mulai cabai merah sampai cabai rawit hijau seluruhnya mencatatkan kenaikan harga.

Kepala Bidang Harga Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Inti Pertiwi mengatakan, saat ini harga telur di pasar sudah naik. Harga sudah mencapai Rp 30.000 per kg.

“Berarti di eceran atau warung-warung lebih tinggi lagi. Memang harga telur naik, dan menurut proyeksi kami akan naik terus sampai Januari akhir, baru akan turun sedikit-sedikit,” katanya.

Namun, ternyata tidak hanya harga telur yang naik. Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), ada beberapa harga sembako yang terpantau naik lumayan tajam.

Biangnya telur, yaitu ayam, juga ikut naik. Pada 20 Desember 2020, rata-rata harga telur ayam ras segar di pasar-pasar Tanah Air adalah Rp 28.450 per kg. Naik hampir 9% dibandingkan sebulan sebelumnya.

Namun yang terlihat mengalami kenaikan harga mencolok adalah komoditas cabai-cabaian. Harga cabai merah besar pada 20 Desember 2020 adalah Rp 55.800 per kg. Naik lebih dari 31% dibandingkan sebulan sebelumnya. Lonjakan harga juga dialami oleh cabai merah keriting, cabai rawit merah, dan cabai rawit hijau.

Kenaikan harga sembako membuat laju inflasi nasional sepertinya akan terakselerasi. Bank Indonesia (BI) melalui Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan III memperkirakan inflasi Desember 2020 akan sebesar 0,36% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/ MtM). Kalau terwujud, maka akan menjadi laju tercepat sejak Januari 2020.
Dengan demikian inflasi sepanjang 2020 akan sebesar 1,6%. Jika terwujud, maka akan menjadi inflasi tahunan terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

“Penyumbang utama inflasi yaitu cabai merah sebesar 0,08% (MtM), telur ayam ras sebesar 0,06%, cabai rawit sebesar 0,04%, tomat sebesar 0,03%, daging ayam ras sebesar 0,02%, minyak goreng, jeruk, wortel, dan tarif angkutan udara masing-masing sebesar 0,01%. Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas emas perhiasan sebesar -0,05% dan bawang merah sebesar -0,01%,” sebut keterangan tertulis BI.

Sebagai negara berkembang, inflasi rendah sejatinya patut disyukuri. Sebab inflasi tinggi adalah khittah negara berkembang, yang permintaan terus tumbuh sementara produksi dalam negeri belum bisa memenuhinya. Ada dorongan inflasi yang berasal dari tingginya permintaan (demand pull inflation).

Namun sekarang beda. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang diatasi dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat ekonomi mati suri. Produksi terhambat karena penerapan protokol kesehatan, dan permintaan pun anjlok karena aktivitas masyarakat di luar rumah masih sangat terbatas.

Oleh karena itu, deflasi lebih dimaknai sebagai kelesuan ekonomi. Pelaku usaha dipaksa menurunkan harga demi mempertahankan permintaan. Ini bukan ciri ekonomi yang sehat.

Kelesuan permintaan tergambar dari laju inflasi inti. Pada November 2020, inflasi inti tercatat 1,67% YoY. Ini adalah yang terendah sejak BPS melaporkan data inflasi inti pada 2004.

Inflasi inti kerap digunakan sebagai indikator kekuatan konsumsi. Sebab, inflasi inti berisi barang dan jasa yang harganya tidak mudah naik-turun alias persisten. Saat harga yang ‘bandel’ saja sampai turun, artinya permintaan memang sepi sehingga penjual terpaksa memangkas harga.

(*/red/dilansir)

Komentar