Ziggurat Ur, Pusat Peradaban yang Terlupakan di Tengah Gurun Pasir Irak

Saya bisa melihat sisa-sisa pencapaian besar ini saat Ashraf membawa saya dan beberapa turis lainnya ke tangga utama. Dia tahu situs dengan baik: dia pindah ke sini dengan ayahnya 38 tahun yang lalu untuk membantu penggalian arkeologi, dan rumah keluarganya terletak hanya beberapa langkah dari pintu masuk.

Begitu saya mencapai puncak, saya bisa membayangkan kerajaan kuno terbentang ke segala arah, ribuan tahun yang lalu.

Raja Ur-Nammu meletakkan batu bata pertama ziggurat pada tahun 2100 SM, dan pembangunannya kemudian diselesaikan oleh putranya, Raja Shulgi.

Pada saat itu, Ur merupakan ibu kota Mesopotamia yang berkembang pesat. Pada abad ke-6 SM, ziggurat itu hancur karena panasnya gurun yang ekstrem dan pasir yang keras.

Raja Nabonidus dari Babilonia mulai bekerja memulihkannya sekitar 550 SM.

Alih-alih mengembalikan tiga tingkat asli, ia membangun tujuh, menyelaraskan dengan struktur megah Babilonia lainnya pada waktu itu, seperti ziggurat Etemenanki, yang diyakini sebagian orang sebagai yang menara Babel yang terkenal.

Sebagian besar ziggurat tetap utuh hingga hari ini, karena tiga inovasi cerdik oleh para insinyur asli Sumeria.

Pertama, ventilasi. Seperti ziggurat lainnya, ziggurat ini dibangun dengan batu bata lumpur di bagian dalam, dan dikelilingi batu bata bagian luar yang dipanggang dengan sinar matahari.

Karena pondasi bangunan bisa menyerap kelembapan yang dapat menyebabkan degradasi keseluruhan struktur, orang Sumeria membuat ratusan lubang persegi di dinding luar demi penguapan cepat.

Rumour menjelaskan bahwa tanpa detail ini, “interior bata lumpur bisa melunak saat hujan deras, dan akhirnya menggembung atau runtuh”.

Kedua, dinding dibangun sedikit miring. Air bisa mengalir ke sisi ziggurat, mencegah genangan di tingkat atas. Sudut-sudutnya membuat struktur tampak lebih besar dari kejauhan, sehingga mengintimidasi musuh kekaisaran.

Terakhir, kuil di atasnya dibangun dengan batu bata lumpur yang dipanggang penuh dan disatukan oleh bitumen. Tar yang terbentuk secara alami ini mencegah rembesan air ke dalam batu bata dalam yang belum dipanggang.

Terlepas dari pencapaian-pencapaian ini, pada abad ke-6 M, kota metropolitan yang pernah berkembang pesat itu telah mengering, secara metaforis dan fisik.

Sungai Efrat berubah arah, menjadikan kota tanpa air dan karenanya tidak dapat dihuni. Ur dan ziggurat ditinggalkan dan kemudian terkubur di bawah gunung pasir oleh angin dan waktu.

Baru pada tahun 1850 sisa-sisa ziggurat ditemukan kembali. Pada 1920-an, arkeolog Inggris Sir Leonard Woolley memimpin penggalian monumen yang mendalam, mengungkap apa yang tersisa dari struktur dan menemukan belati emas, patung pahatan, kecapi halus, dan hiasan kepala rumit dari kuburan sekitarnya.

Komentar