Usai Tandatangani Nota Kesepahaman, Kepala BPIP dan Ketua MA Nonton Bareng Film Pendek “Keadilan Sang Hakim”

JurnalPatroliNews – Jakarta (04/01/2023) – Pada 4 Januari 2023 bertempat di Gedung Kusuma Atmaja Mahkamah Agung, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Drs. K.H Yudian Wahyudi, M.A, Ph.D dan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H.M Syarifuddin, S.H, M.H menandatangani Nota Kesepahaman kerjasama antar kedua instansi.

Melalui penandatangan nota kesepahaman tersebut, BPIP dan MA sepakat untuk memperkuat kerjasama dalam pelaksanaan penelitian, pengkajian, sosisalisasi, seminar, lokakarya, diskusi kelompok terpumpun, sarasehan, simposium, kegiatan ilmiah, pembudayaan dan kegiatan lainnya dalam rangka penguatan nilai-nilai Pancasila di dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman.

Selain itu kerjasama juga dapat dilakukan dalam bentuk internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai Pancasila terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan; peningkatan kapasitas sumber daya manusia sebagai Duta Pancasila; dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pembinaan ideologi Pancasila.

Usai penandatanganan nota kesepahaman, Kepala BPIP dan Ketua MA beserta para pejabat di kedua instansi melakukan kegiatan nonton bersama film pendek “Keadilan Sang Hakim”. Film ini diproduksi oleh BPIP bekerjasama dengan MA, mulai dari penyusunan skenario cerita hingga keterlibatan para pemain yang berasal dari kedua instansi.

Seperti disampaikan Direktur Pengkajian Materi Pembinaan Ideologi Pancasila, Aris Heru Utomo, cerita film “Keadilan Sang Hakim” diambil dari kisah nyata yang terjadi di salah satu daerah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam beberapa tahun lalu. Kisahnya mengenai persidangan kasus pencurian sapi dengan terdakwa Mudasir, seorang petani miskin di sebuah kampung pesisir barat Aceh.

Mudasir didakwa telah mencuri seekor sapi milik seorang pengusaha peternakan bernama Haji Sulaeman. Dalam dakwaan disebutkan Mudasir kepergok oleh Iswandi dan Ridwan (pekerja Haji Sulaeman) sedang membawa seekor sapi dari peternakan milik Haji Sulaeman. Perkara tersebut menjadi rumit karena sulit untuk membuktikan siapa pemilik sapi tersebut, karena baik, Haji Sulaeman maupun Mudasir mengaku bahwa sapi tersebut miliknya.

Majelis Hakim yang terdiri dari seorang Ketua dan dua orang anggota terlihat kebingungan karena sulit untuk bisa memastikan sapi itu milik siapa.

Setelah mempelajari dan mempertimbangkan segala aspek hukum terkait pengambilan keputusan dan mendengarkan pengakuan terdakwa (Mudasir) dan para saksi (Iswandi dan Ridwan), Majelis Hakim kemudian melakukan pembuktian dengan menggunakan sapi “yang dicuri” sebagai subjek. Caranya dengan menempatkan sapi di tengah lapangan, kemudian para saksi dan terdakwa diminta memanggil sapi tersebut dengan nama atau kebiasaan masing-masing.

Komentar