Indonesia Butuh Capres yang Berani Evaluasi Program Hilirisasi Sumber Daya Alam

JurnalPatroliNews – Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengkritik keras pelaksanaan program hilirisasi sumber daya alam (SDA) Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Menurut Mulyanto, hilirisasi yang dijalankan Jokowi lebih banyak merugikan negara dan merusak lingkungan hidup. 

Karena itu, Mulyanto berharap di pemilihan presiden 2024 akan terpilih figur pasangan yang berani mengoreksi dan mengevaluasi program hilirisasi SDA yang berjalan selama ini. Tujuannya agar pengelolaan SDA dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.  

“Kasus ledakan smelter PT. ITTS di Kawasan IMIP yang sampai hari ini mencapai 18 orang korban tewas adalah kasus terbesar dalam sejarah pengoperasian smelter nasional. Kalau tidak ada tindakan korektif dari Pemerintah kita khawatir, smelter ini akan menjadi mesin pembunuh para pekerja kita,” ujar Mulyanto, melalui keterangannya, Rabu (27/12).

Berdasarkan kasus tersebut Mulyanto menegaskan bahwa saat ini industri smelter wajib diaudit total untuk menjamin keselamatan pekerjanya.

Selain itu Presiden dan Pemerintah ke depan harus mengkaji ulang program hilirisasi mineral yang digencarkan Presiden Jokowi.

“Sudah banyak kritik yang diberikan berbagai pihak terhadap program hilirisasi ini namun kurang direspons dengan baik oleh pihak Pemerintah. Yang sering muncul hanyalah pembelaan,” terang Mulyanto. 

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini menambahkan sampai hari ini industri smelter mendapat banyak keuntungan, mulai dari harga bijih ore yang murah, tax holiday, kemudahan mendatangkan peralatan dan mesin, TKA, sumber energi yang kotor; produk nikel yang bernilai tambah rendah berupa NPI (nickel pig iron) dan Feronikel dengan kandungan nikel kurang dari 10 persen, bebas bea ekspor, dll.

“Karena itu kita meragukan optimalitas penerimaan negara dari industri smelter ini.  Memang nilai ekspornya tinggi, tetapi keuntungan yang diperoleh sebagian besar masuk ke negara asal investor bukan menjadi penerimaan negara kita,” ujar dia.

Padahal di sisi lain cadangan nikel kita makin menipis tinggal di bawah 10 tahun operasi.

“Ketika terjadi kasus di Blok Mandiono dan dilakukan pelarangan penambangan nikel di blok itu, beberapa industri smelter terpaksa melakukan impor bijih nikel,” ujarnya. 

“Ke depan yang perlu kita percepat adalah industrialisasi mineral dengan nilai tambah dan multiflier effect yang tinggi, bukan sekedar hilirisasi setengah hati dengan produk setengah jadi dengan nilai tambah rendah. Jangan sampai nikel kita keburu habis saat kelak kita butuhkan untuk industrialisasi. Belum lagi keberadaan material ikutan yang juga terbawa, yang kita tidak tahu berapa nilainya,” imbuhnya.

Komentar