Jiwasraya, Kamu Menang

Per tanggal 24 Mei 2021, Jiwasraya menerbitkan dan mempublikasikan Pengumuman Batas Akhir Program Restrukturisasi Jiwasraya. Batas akhirnya tanggal 31 Mei 2021.

Ditulis juga bahwa yang setuju ikut program ini per tanggal 21 Mei 2021 telah mencapai 90,3 persen. Dalam logika saya, dalam sisa hari-hari ini, yang 9,7 persen juga akan “menyerah”. Jiwasraya, kamu menang.

Restrukturisasi ajaib 3 opsi yang rasanya pahit semua, keluar sebagai juara. Restrukturisasi nihil etika, nihil empati dengan landasan hukum yang sangat bisa diperdebatkan. Tentunya hal ini bisa dibawa ke ranah hukum. Ada yang sudah melakukannya.

Bahkan dalam putusan pertama, penggugat (nasabah gagal bayar) dinyatakan menang. Saya belum membaca berita lagi apakah akan ada banding atas putusan pengadilan tersebut.

Masalahnya nasabah dengan uang pas-pasan, awam hukum dan ditambah dengan yang usianya sudah tidak muda lagi, proses hukum yang berlangsung lama bisa jadi sangat melelahkan lahir batin. Dan tentunya ada biaya juga yang harus disiapkan untuk pendampingan hukum. Mana tahan?

Gagal bayar Jiwasraya ini bukan masalah sederhana yang bisa disepelekan penyelesaiannya dengan 3 opsi ajaib tersebut. Gagal bayar ini tidak saja berdampak pada kondisi finansial nasabah. Dampaknya lebih jauh. Lebih dalam. Masuk ke sendi-sendi dan urat nadi kehidupan rumah tangga nasabah gagal bayar.

Ada suami istri yang hari-harinya stres penuh pertengkaran karena yang satu pasrah uangnya dipotong yang penting ada uang yang selamat. Sementara pasangannya yakin bahwa setelah uang dipotong dan dipindahkan pengelolaannya ke IFG LIfe, tetap tidak ada jaminan bahwa IFG Life tidak akan akan gagal bayar lagi di kemudian hari.

Apa jaminannya? Ini perusahaan asuransi jiwa seumur jagung dan langsung mau mengelola uang nasabah yang jumlahnya triliunan. Seinstan-instannya mie saja tetap butuh waktu untuk menyalakan kompor dan menjerang air. Tidak “ujug-ujug mateng”. Itupun kalau mau dimakan juga harus ditiup-tiup dulu biar mienya agak dingin. Lha ini mau mengelola uang triliunan kok dengan cara instan. Apalagi di masa pandemi yang berdampak pada kondisi ekonomi negeri.

Tidak hanya pertengkaran dan ketegangan. Yang paling menyiksa batin adalah timbulnya rasa ketidakpastian menghadapi masa depan. Tidak butuh seorang ahli keuangan untuk mengatakan bahwa uang tunai hari ini lebih penting ketimbang uang yang dijanjikan untuk dibayarkan secara cicilan selama 5 tahun. Apalagi 15 tahun. Apalagi ini dijanjikan pada orang-orang dengan usia tidak muda lagi, yang tensi darah dan denyut jantungnya lebih rentan terhadap berbagai masalah. Belum lagi asam lambung yang responnya cepat terhadap kegundahan psikologis.

Masih ditambah dengan berbagai kendala kesehatan lainnya yang menyertai bersama dengan berjalannya usia. Sungguh naif sebuah kebijakan yang tidak memperhitungkan dampak seperti ini. Sebuah perusahaan asuransi jiwa ternama milik negara abai pada masalah kesehatan fisik dan psikologis jutaan nasabahnya.

Hal-hal di atas itulah yang akhirnya membuat orang menyerah. Sungguh kejam apabila ada klaim bahwa nasabah gagal bayar Jiwasraya menyambut dengan antusias program restrukturisasi ajaib ini.

Orang menyerah karena ia sudah merasa tidak akan menang. Kalah dalam pertandingan yang tidak imbang. Mau membawa masalah ke ranah hukum sudah kalah sebelum bertanding. Anggaplah menang di pengadilan. Kemudian ada perintah bahwa Jiwasraya harus segera bayar.

Kalau tidak dibayar-bayar juga nasabah bisa apa. Nasabah tidak punya pegangan jaminan dari Jiwasraya yang bisa dicairkan segera. Runyam. Maju penyok mundur penyok. Tenggat waktu sudah dipublikasikan. Sudah ketok palu. Apakah nasabah yang belum tanda tangan ikut restrukturisasi bisa tetap bertahan? Sementara 3 opsi ajaib yang ditawarkan adalah separah-parahnya opsi.

Sebetulnya, kalau manajemen Jiwasraya sedikit saja punya empati, BANYAK OPSI bisa ditawarkan ke pada jutaan nasabah korban gagal bayar Jiwasraya.

ANTARA LAIN (tentunya ini bukan satu-satunya opsi): potongan uang nasabah yang di kisaran 30 persen itu diperhitungkan untuk bayar PPB, pajak lainnya, iuran BPJS, listrik, uang sekolah/kuliah, STNK serta iuran dan retribusi lainnya. Untuk negara ini kan kantong kiri dan kantong kanan. Tidak butuh TUNAI KERAS. Dan negara, yang adalah pemilik Jiwasraya, tidak rugi apapun juga.

Ini sekedar contoh opsi yang seharusnya ada dalam benak dan hati Komisaris, Direksi serta jajaran manajemen Jiwasraya. Bahkan juga Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan. Tapi ternyata hal-hal seperti ini tidak ada dalam benak apalagi hati pihak-pihak terkait.

Restrukturisasi yang lazimnya diartikan sebagai program untuk menjadwal ulang dan memberi potongan untuk nasabah penerima kredit dari lembaga keuangan, malah didefinisikan sebagai penjadwalan kewajiban lembaga keuangan dan pemotongan uang nasabah. Terbalik ya. Selamat datang era abnormal industri keuangan Indonesia.

Sampai kapanpun saya tidak setuju program restrukturisasi 3 opsi ajaib nan semrawut yang dipaksakan oleh Jiwasraya. Nasabah dijanjikan dibayar cicil setiap tahun selama 15 tahun (sebuah perjalanan panjang melalui 3 kali PILPRES RI). ATAU dibayar cicil setiap tahun selama 5 tahun, tapi uang nasabah dipotong di kisaran 30 persen.

Jadi ada pemotongan uang nasabah. Seperti tidak ada opsi lain saja. Cobalah cari opsi-opsi lain yang menomorsatukan kepentingan nasabah. Pasti akan ada opsi yang lebih baik.

Manajemen Jiwasraya digaji besar untuk menyelamatkan tidak saja uang, tapi yang utama justru KEHIDUPAN nasabah. Jiwasraya adalah perusahaan asuransi jiwa. Jiwa adalah nyawa. Para nasabah “pasrah bongkokan” titip nyawa ke manajemen Jiwasraya.

Menyerahkan uang hasil jerih payahnya di masa produktif untuk menjalani kehidupan yang AMAN di masa depan. Berkorban di hari ini untuk masa depan. Dan pengorbanan inilah yang didiskon di kisaran 30 persen.

Mari kita tutup pembicaraan soal opsi dicicil 15 tahun. 15 tahun adalah sebuah rentang waktu yang dalam perkembangan teknologi digital teramat singkat. Juga di bisnis keuangan. Per hari ini kita belum bisa secara pasti membayangankan seperti apa  wujud persisnya industri keuangan berbasis digital di masa depan. Paradigama baru apa yang akan menggeser paradigma bisnis asuransi jiwa konvensional.

Belum lagi dengan adanya pandemi Covid 19 yang sampai saat ini belum terlihat ujung akhirnya. Boro-boro 15 tahun. 5 tahun pun bisa jadi semua prediksi ekonomi dunia meleset, dan harus selalu ada revisi per triwulannya. Jadi sewajarnya kalau nasabah gagal bayar Jiwasraya bisa memperoleh opsi-opsi yang “ngajeni”, yang menghormati harkat kemanusiaan nasabah, yang menghargai kecerdasan nasabah, bukan dengan opsi-opsi yang mengeksploitasi ketidakberdayaan dan melecehkan hak asasi.

Restrukturisasi diposisikan sebagai upaya penyelamatan Jiwasraya. Jiwasraya selamat, otomatis nasabah selamat. Masalahnya sekarang, sudah Jiwasraya tidak selamat (karena mau ditutup), nasabahnya juga tidak diselamatkan juga. Dengan gaji besar dan berbagai fasilitas yang dinikmati oleh manajemen Jiwasraya, selayaknya manajemen bekerja untuk kepentingan nasabah. Dan hal ini yang diamanatkan dalam visi dan misi Jiwasraya. Kalau Jiwasraya berjalan tanpa berlandaskan pada visi dan misinya, lalu triliunan rupiah uang nasabah sebenar-benarnya “mau diapain sih?”.

 

Markus RA ‘kepra’ Prasetyo
Suami Pemegang Polis Jiwasraya

Komentar