Persatuan dalam Kebhinnekaan dan Moderasi Beragama Jadi Isu Utama BPIP RI dalam Dialog Kebangsaan Antar Umat Beragama

Kemudian, setiap jemari tidak berpisah. Pengertiannya adalah antara sila satu dengan yang lainnya saling menyatu dan menopang.

Selain mensosialisasikan Salam Pancasila, Prof. Yudian juga menyinggung soal konsensus dalam berbangsa dan bernegara. Menurutnya, legitimasi kebangsaan tertinggi bukan muncul dari suatu kelompok tertentu. Tetapi, ada di kebersamaan dan persahabatan.

“Artinya, konsensus merupakan sumber hukum tertinggi yang mengatur kehidupan. Untuk agama, konsensusnya adalah kitab suci masing-masing. Karena ini dalam kehidupan bernegara, maka konsensusnya termaktub dalam UUD 1945. UUD 45 itu isinya nilai-nilai keagamaan yang sudah disepakati bersama, tapi bahasanya memakai bahasa hukum”, tuturnya.

Karenanya, Prof. Yudian selalu menegaskan bahwa tidak ada toleransi tanpa konsensus. Karena, nanti masing-masing standarnya berbeda.

“Masing-masing nanti punya warna antara kelompok yang satu dengan yang lainnya”, tambah Prof. Yudian.

Sebelum membuka acara, Prof. Yudian berharap dialog ini bisa menjadi wadah ide-ide dan pandangan dari para tokoh agama. Serta mampu mencetuskan deklarasi tentang ke-Indonesiaan, khususnya etika dalam bermedia-sosial. Dan, hasil deklarasi ini bisa disampaikan ke internal masing-masing organisasi kemasyarakatan.

Sementara itu, Rektor UIN Suka Prof. Al Makin mengatakan, dialog Kebangsaan ini didasarkan pada kajian UIN Suka selama bertahun-tahun tentang hubungan persahabatan antar umat beragama maupun internal beragama. Dalam banyak kajian Perguruan Tinggi Negeri Keagamaan Islam (PTKIN) mulai dari UIN
Ar Raniry Aceh sampai IAIN Papua, ditemukan hasil bahwa persahabatan di kalangan remaja, anak, dan para mahasiwa umumnya didadasari kesamaan iman, kedaerahan, dan aliran. “Jarang sekali persahabatan didasari lintas organisasi dan lintas iman,” kata Prof. Al Makin.

Karena itu, Prof. Al Makin mengatakan bahwa ukuran moderasi beragama itu sederhana. Yakni, seberapa banyak teman kita yang tidak berbahasa sama dengan kita, tidak berorganisasi sama dengan kita, dan tidak sama cara beribadahnya. “Maka mari kita tingkatkan persahabatan,” kata Prof. Al Makin.

“Mari kita sosialisasikan di masyarakat dan medsos, bahwa kita semua bersahabat, berkawan, dan bersaudara. Saya kira ini sangat diperlukan dalam konteks ke-Indonesiaan yang sangat kaya,” tambah Prof Al Makin.

Selain itu, Prof Al Makin mengatakan bahwa masyarakat harus kembali ke akar ke-Indonesiaan. Di mana, akar jati diri ke-Indonesiaan itu memiliki empat hal yakni keadilan, moderasi, kebajikan, dan persahabatan. Menurutnya, kembali ke akar jati diri bangsa Indonesia itu sebenarnya sudah dilakukan oleh para pendiri bangsa. Misalnya, Sukarno, Hatta, H Agus Salim, M Yamin, hingga Sutan Sjahrir, sudah mempelajari jati diri bangsa Indonesia sebelum proklamasi.

“M Yamin misalnya, sangat senang mengutip kita Sutasoma, menggali sejarah Majapahit, ini luar biasa,” ungkap Rektor UIN Sunan Kalijaga.

Karena itu, Prof. Al Makin mengapresiasi langkah BPIP dalam menjaga dan mengawal nilai-nilai Pancasila. Selain itu, BPIP terus menggali nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat.

Martin Lukito Sinaga, tokoh dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, menyerukan agar institusi-institusi agama dan negara dapat melakukan advokasi dan pendekatan terkait berita-berita yang menyangkut pada agama.

“Anak muda mengharapkan bahwa institusi-institusi terkait agama serta pemerintah mampu turut serta dan turun untuk melakukan advokasi dan pendekatan terhadap berita yang memiiki tema tentang agama,” ujarnya.

Komentar