Menggugat Keprihatinan Perguruan Tinggi

Dalam menyampaikan keprihatinan, kaum terdidik termaksud juga mengungkap bahwa sistem demokrasi yang tergelar saat ini adalah politik biaya tinggi. Sudah barang tentu, kesimpulan tersebut benar adanya. Dalam Pemilu umpamanya, untuk tampil sebagai pemenang Pemilu dibutuhkan dana politik yang tidak kecil, maka wajar saja kalau setelah berkuasa, mereka akan mengembalikan modal yang telah dikeluarkan, disamping juga menyiapkan kebutuhan dana untuk ikut dalam Pemilu berikutnya. Disanalah maka praktek oligharki dan kooptasi kekuasaan Pemilik Partai begitu kuatnya.

Pokok persoalan yang perlu kita pertanyakan, mengapa Perguruan Tinggi beserta  kaum terdidiknya selama ini memilih diam. Bisa jadi untuk kekinian mereka telah berubah menjadi “Menara Gading” akibat dosa masa lalunya yang memilih berkolaborasi dengan elit penguasa Orde Baru yang ujungnya telah mengantar bangsa ini terpuruk berkepanjangan.

UUD -1945 Sebagai Penyebab Fundamental Bobroknya Moral Elit Bangsa.

Dari Kumpulan Pidato dan Risalah Rapat BPUPKI dan PPKI dapat diketahui bahwa karena ketergesa-gesaan untuk segera merdekan, secara kelembagaan BPUPKI belum sempat merumuskan Rancangan UUD 1945. Adapun Rancangan UUD yang belakangan oleh PPKI dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 disahkan menjadi UUD, berasal dari pribadi Mr. Muhamad Yamin yang bukan Anggota Panitya Perumus Rancangan UUD bentukan BPUPKI. Dan dari dokumen yang ada, Rancangan UUD tersebut tidak dijelaskan kapan, dimana dan siapa penyusun yang sesungguhnya.

Sementara itu, BPUPKI sendiri hanya sempat 1 (satu) kali rapat membahas Rancangan Batang Tubuh UUD-1945 termaksud, kiranya mudah dipahami kalau isinya ternyata Asistemik dan juga Akonstitutif.

Bukti bahwa UUD-1945 yang asli Asistemik, dapat dicermati dari tidak nyambungnya antara amanat Pasal-Pasal Batang Tubuh dengan nilai-nilai luhur yang dikandung dalam Pembukaannya. Kehendak untuk membangun negara demokrasi umpamanya, dalam realitanya  amanat  batang tubuh UUD nya belum mengatur tentang Partai dan Pemilu. Padahal bukanlah demokrasi kalau tanpa Partai Politik dan Pemilu.

Sedang bukti bahwa  UUD-1945 yang asli tergolong akonstitutif, dapat ditengarai dari belum dilengkapinya model tata kelola kekuasaan negara secara pokok-pokok sekalipun yang bisa digunakan sebagai “tool” untuk mengatur kehidupan negara dan bangsa.

 Menjadi wajar kalau diera Orde Baru dalam merumuskan UU turunannya, elit bangsa ini  banyak mengambil “tool” dari paham lain tanpa disesuaikan dengan budaya bangsa terlebih dahulu. Dan sebagian lagi, baru sebatas gagasan elit tanpa dibuktikan validitas kebenarannya baik secara keilmuan maupun dalam praktek oleh negara lain sekalipun. Dankemudian distempel dengan sebutan Pancasia, seperti demokrasi Pancasila dan Ekonomi Pancasila.

Belum lagi dari sisi “arsitektur” sistem kenegaraan yang tergambar dalam UUD-1945 yang asli adalah  model yang lazim diterapkan dalam sistem negara-negara komunis. Dengan pendekatan antropologi politik kita akan tahu, bahwa keberadaan GBHN hanyalah mungkin diterapkan pada negara yang menggunakan model 1 (satu) Partai, karena tidak akan terjadi pergantian rezim berkuasa yang beda ideologi.

 Begitu juga tentang keberadaan MPR dengan keanggotaan yang terdiri dari Anggota DPR ditambah Utusan Daerah/Golongan, peran dan fungsinya yang sama seperti keberadaan Forum Sidang Partai Komunis 5 tahunan di negara-negara komunis. Dan dari fakta social yang tergelar saat itu  (1945), bukankah model tersebut hanya lazim diterapkan dalam sistem negara komunis, lebih khusus adalah UUD negara Uni Sovyet. Dan masih banyak lagi variable lainnya yang nyata-nyata menginduk pada paham negara komunis.

Komentar